Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN orang merusak rumah dan mengusir pengikut Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pertengahan Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh keluarga atau 24 orang pengikut Ahmadiyah diusir dari rumah mereka oleh massa yang terdiri atas sekitar 50 orang itu. Teror terhadap jemaah Ahmadiyah adalah teror lama di Indonesia. Tempo edisi 17 September 1988 merekam teror terhadap pengikut aliran ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam artikel "Dan Masjid itu pun Dirusakkan" diberitakan lima orang merusak sebuah masjid di Kampung Ciparay, Sukarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat. Seorang di antara mereka "menampar" kaca jendela masjid. Prang, prang. Sunyi pecah. Yang lain merusak pintu, menghancurkan genting, dan membobol langit-langit bilik.
Malam itu memang tak ada perlawanan. Seperti biasa, selepas salat isya, pintu masjid dikunci. Masjid itu milik pengikut Ahmadiyah Qadian. Didin, salah seorang pengikutnya, mengatakan jemaahnya telah mendengar rencana penyerangan itu dua hari sebelumnya. Konon, akan dilakukan Minggu malam. Tak jelas kenapa diundurkan sehari. Masjid itu dibangun pada 1973.
Di Kecamatan Samarang, anggota jemaah Qadian minoritas: 80 orang. Selama ini mereka tak diganggu. Setelah ada ceramah di masjid itu memakai pengeras suara, buntutnya lain. "Sejak itu, ada beberapa tokoh merasa disisihkan. Mereka menghasut dari rumah ke rumah, menyebut pengikut Ahmadiyah kafir, Dajjal, PKI," kata Ilman Fajar, 29 tahun.
Kasus Garut itu sedang ditangani yang berwajib. Menurut sumber Tempo, serangan dimulai dengan menabur fotokopi selebaran bertanggal 20 September 1984 dari Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam. Di situ disebutkan bahwa Ahmadiyah Qadian bertentangan dengan Islam. Tapi selebaran dari instansi yang sama (dikeluarkan pada 1986) yang mencabut selebaran terdahulu itu tak ada fotokopi untuk disebarkan. Isinya, Qadian dibolehkan asalkan "tidak meresahkan masyarakat".
Enam bulan sebelumnya, rumah anggota jemaah Qadian di Buniasih, Cianjur, Jawa Barat, juga dihancurkan. Di Sindangkerta, Cianjur Selatan, api menjilat atap masjid Ahmadiyah. Karena dilihat seorang ibu dan anaknya, masjid itu tertolong sebelum jadi abu.
Walau demikian, jemaah Ahmadiyah Qadian makin aktif. Mereka juga akan memperingati ulang tahun keseratus lahirnya ajaran itu, Maret tahun depan. Selain Qadian, di Indonesia berkembang Ahmadiyah aliran Lahore.
Semula mereka berpohon dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah pada 1889. Setelah ia meninggal pada 1908, penggantinya adalah Hazrat Hakim Nuruddin, menjadi Khalifah I. Sepeninggal dia, 1914, penganut Ahmadiyah pecah karena berebut kepemimpinan. Jemaah Qadiani menganut kekhalifahan Basyiruddin Mahmud Ahmad. Yang bertahan di Lahore mengangkat Maulvi Muhammad Ali.
Yang Lahore mengakui Ghulam Ahmad hanya pembaru dan bukan nabi. Namun, karena masih bertahan dengan pengakuan itu, Rasyid Ridha menyebut mereka bidah alias mengada-ada. Sedangkan untuk yang Qadian, ulama Al-Azhar itu menuding dengan dobel: kafir murtad. Penilaian dimaksud, paling tidak, karena "jalan" mereka menunjukkan perbedaan bersimpang.
Bagi umat Islam, yang Sunni dan Syiah, setelah Rasul Muhammad, tak ada nabi baru. Muhammad SAW tetap sebagai Nabi Penutup atau Khatam al-Nabiyyin. Dasarnya Quran ayat 40 Surat Al-Ahzab. Sedangkan ahli tafsir besar, seperti Al-Thabari dan Qata Dah, bahkan mengutip berpuluh hadis untuk menunjukkan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir.
Lain dengan Qadian. Mereka berpendapat bahwa kenabian adalah rahmat dan itu tak hanya setelah wafatnya Muhammad. Di Syiah, ada pengakuan kepada sejumlah nama sebagai imam, sedangkan Ghulam Ahmad sendiri mengaku dirinya sebagai nabi. Bahkan ia mengaku dirinya adalah Al-Masih dan Al-Mahdi. Dan debat terurai panjang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo