Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Wiraswasta pinggir kali

Trans sulawesi pada jalur palu-parigi-poso belum ada jalur jembatan. akhirnya penduduk sekitarnya memanfaatkan perahu milik mereka untuk penyeberangan. (ils)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRANS Sulawesi pada jalur Paluparigi-Poso yang berjarak sekitar 200 km itu memang sedang dalam tahap penyelesaian. Tubuh jalan sudah terbentuk, namun duiker-duiker maupun jembatan hampir belum tergarap sama sekali. Untuk menunjang proyek transmigrasi di wilayah Kecamatan Parigi, pihak PU Sulawesi Tengah membuka jalur jalan itu untuk lalu-lintas. kendaraan umum. Dengan segera lalu-lintas pun ramai. Jalur yang sebelumnya hanya dihubungkan dengan kendaraan laut atau bahkan dengan kuda selama berhari-hari, kini dipenuhi mobil umum maupun pribadi. Beberapa sungai, besar atau kecil, yang tanpa jembatan, bukan halangan. Dengan tarif tertentu, rakit-rakit milik perseorangan, adalah alat penyeberangan yang ampuh. Sepanjang jalan 200 km itu paling sedikit melintas 4 buah sungai yang harus diperhitungkan oleh tiap penyeberang Sungai Dolago, Sungai Tindaki, Sungai Torue dan Sungai Sausu. Dasar sungai-sungai ini adalah pasir yang dapat membenamkan roda kendaraan. Lebar sungai-sungai itu rata-rata 40-60 meter. Selebihnya adalah sungai-sungai kecil yang hanya berair di musim penghujan. Pada 1978 atas usul Camat Parigi, Asmuji Slamet, PU Sul-Teng memberikan 2 perahu untuk masing-masing sungai. Dikelola oleh kepala desa setempat, kedua perahu itu digandengkan dengan diberi papan di atasnya sehingga menjadi rakit yang dapat menyeberangkan kendaraan maupun manusia -- yaitu dengan cara mendorongnya. Tiap kendaraan yang mau lewat di pungut bayaran -- uangnya masuk ke kas desa. Tapi tak lama. Perahu-perahu itu pun hanyut dibawa banjir atau rusak. Tapi penduduk sekitar sungai yang pernah menyaksikan uang dapat diperoleh dari perahu rakit itu, mulai mencontoh. Bisnis baru pun muncul. Penduduk secara sendiri-sendiri atau berkongsi, membuat perahu dan mengoperasikannya sebagai rakit penyeberangan. Hasilnya cukup menguntungkan, karena setiap yang akan menyeberang, mobil, sepeda motor, sepeda, bahkan orang, dikenai pembayaran dengan tarif tertentu. Tarif Bahkan seorang penduduk Desa Tindaki, Hanafi Lajiji, sempat mengantungi surat izin dari Dinas Lalu-lintas & Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (DLLASDP) Sul-Teng yang berkedudukan di Poso, untuk mengoperasikan rakit-rakit penyeberangan di keempat sungai itu. Dalam izin itu tak dicantumkan tarif penyeberangan. Walaupun tanpa izin, penduduk segera mengikuti jejak Hanafi. (Lihat juga box). Persaingan tiba-tiba meramaikan pinggir-pinggir sungai. Memperebutkan muatan kerap berakibat pertengkaran. Camat Parigi segera turun tangan. Penyelesaian tercapai dengan membentuk kelompok-kelompok dalam satu kongsi di antara mereka yang memiliki perahu. Dua puluh hingga tiga puluh perahu milik para pemegang saham dihubungkan dengan papan dan balok kayu, diikat sana sini, jadilah jembatan yang melintasi sungai. Pembagian keuntungan bukan berbentuk uang, tapi dari pendapatan masing-masing pemegang saham pada waktu giliran jaga. Tiap orang mendapat ksempatan jaga 24 jam -- bergantian. Menurut ketentuan Penghubung embantu Bupati Donggala di Parigi, tarif penyeberangan adalah Rp 500 untuk kendaraan roda empat dalam keadaan kosong, Rp 1.000 untuk truk bermuatan 2 ton, bis/pik-ap Rp 750, sepeda motor Rp 100, sepeda Rp 50, dan pejalan kaki Rp 25. Masing-masing untuk sekali menyeberang. Mobil berplat merah, anak-anak sekolah dan petugas-petugas pemerintahan (seperti guru, camat, kepala kampung) gratis. Tapi pelaksanaan tarif itu tentu berbeda di lapangan. Macam-macam alasan. Karena air sedang banjir, karena perahu sudah tua atau macam-macam lagi. Bahkan beberapa bulan lalu truk Dolog yang sedang sarat mengangkut beras dari Parigi dikenakan biaya Rp 4.750 pulang-balik. Dan ketika para pemilik rakit mau menaikkannya menjadi Rp 9.000, Bupati Donggala segera bertindak. Sebab tarif itu dengan sendirinya akan berpengaruh pada harga beras. Tarif pun ditertibkan. Meskipun setiap hari sekitar 100 buah mobil lalu-lalang di rakit-rakit penyeberangan itu, ditambah sepeda motor dan pejalan kaki, para pemilik perahu mengaku pendapatan mereka tidaklah besar. Nyonya Lince pemilik rakit penyeberangan di Sungai Dolago, mengaku rata-rata hanya memperoleh pendapatan bersih Rp 20.000 sehari. Begitu juga Ahmad Yahya, pemilik salah satu rakit di Sungai Tindaki. Malahan Mohammad Lacolo, pemilik rakit di Sungai Torue, mengaku hanya mengumpulkan Rp 2.000 sehari. "Ah, itu tidak mungkin," bantah sopir PU Seksi Parigi, Arifin, yang hampir tiap hari bolak-balik melintasi sungai-sungai itu. Sebab, katanya, jika mereka rata-rata memungut Rp 750 dari tiap mobil yang sekitar seratus jumlahnya, tak masuk akal mereka hanya memperoleh pendapatan sekian -- meskipun sudah dipotong gaji karyawan. Arifin menduga, jumlah pendapatan itu sengaja mereka perkecil untuk menghindari sumbangan sukarela. Sebab sejak beberapa bulan lalu Muspida Parigi meminta sumbangan sukarela kepada para pemilik rakit itu untuk menambah biaya pembangunan gedung serba guna yang dibantu Mendagri. "Mereka sulit ditagih," tutur Camat Parigi. Alasan mereka, karena pendapatan yang masuk sedikit. Kepala PU Sul-Teng, Ir. Sunardi Hadisupadmo, pernah mengajak Menteri PU meninjau pelaksanaan Trans Sulawesi di wilayah Sul-Teng. Melihat bisnis jembatan rakit itu, Menteri Poernomosidi menyarankan agar PU mengambil-alih jembatan-jembatan rakit itu. Maka sekarang, menurut Ir. Sunardi, PU Sul-Teng sedang menjajaki pengambilalihan itu. Tapi mendengar rencana itu, tampaknya para pemilik jembatan rakit tak keberatan. "Itu memang hak pemerintah asal kami tidak dirugikan," kata Ahmad Yahya. Artinya, jembatan boleh diambil, asal pemerintah mengganti biaya pembuatannya. Bahkan Nyonya Lince menyarankan agar PU membuat jembatan rakit sendiri. "Dan perahu-perahu akan saya simpan," katanya. Membuat jembatan permanen tentu menjadi gagasan PU. Tapi rupanya sekarang perhatian sedang dikerahkan untuk membenahi induk jalan. "Di samping juga karena membuat jembatan perlu biaya sangat besar," tambah Sunardi. Tapi jika jembatan-jembatan rakit sudah diambil-alih PU, sudah barang tentu tarif kendaraan umum Palu-Parigi yang Rp 6.000 tiap penumpang seperti selama ini, akan turun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus