KESALAHAN pemakai bahasa Indonesia tak selamanya karena
ketidak-tahuan. Terkadang juga karena disengaja untuk memberi
kesan agar dipandang gagah. Tapi selama Bulan Bahasa di
sepanjang Oktober ini, kesalahan itu terasa lebih mengganggu.
Apalagi karena Bulan Bahasa yang baru untuk pertama kalinya
diadakan ini, dibuka dengan serentetan pidato resmi.
Salah satu kegiatan "Bulan Bahasa" ialah penertiban nama-nama
badan usaha. Pada hari pertama, 1 Oktober 1980, langsung datang
reaksi dari Institut Jakarta Politeknik. Perguruan tinggi
pimpinan Hans E. Kawulusan, setelah mengetahui kegiatan Bulan
Bahasa, cepat-cepat menyadari dan mengubah nama perguruannya
menjadi Institut Politeknik Jakarta.
Prof. Amran Halim, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa ketika mengumumkan hal itu berharap agar badan-badan
usaha yang lain menyusul menertibkan nama masing-masing supaya
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Namun, harapan Amran
rupanya tidak cepat disambut masyarakat.
Amran memang menyadari mengubah nama badan usaha bukan soal
gampang. Selain perlu uang untuk penggantian akta notaris,
diperlukan pula biaya pengecatan, penggantian lampu sekedar,
misalnya, untuk mengganti kata apotik menjadi apotek.
Begitu juga bila para pengusaha fotokopi terpaksa memperbaiki
tulisan fotocopy menjadi photocopy. Hampir semua fotokopi
memasang lampu yang bertuliskan fotocopy, yang merupakan ramuan
kata-kata bahasa Belanda (foto) dan bahasa Inggris (copy).
Kecenderungan orang memakai bahasa asing untuk badad-badan usaha
pernah diperingatkan Gubernur DKI Jaya, waktu itu Ali Sadikin,
dengan sebuah pengumuman 29 Mei 1974. Sejak peringatan itu,
Convention Hall berubah menjadi Balai Sidang dan Youth Centre
menjadi Gelanggang Remaja.
Tapi tak seluruh bahasa asing hilang dengan sendirinya. Malahan
muncul nama-nama baru yang tak memakai bahasa Indonesia.
Menapa? "Kalau memakai bahasa asing, gengsinya naik," gurau Jus
Badudu yang pernah mengasuh siaran Pembinaan Bahasa Indonesia
di TVRI Jakarta.
Sebuah gedung bioskop di daerah Senen, misalnya, beberapa kali
berganti nama. Mula-mula Grand Bioscoop. Kemudian diindonesiakan
menjadi Bioskop Kramat. Tapi sekarang jadi Grand Theatre Hampir
semua bioskop di Jakarta dan di beberapa daerah lebih senang
memakai kata theatre.
Liz Taylor
Bahasa Inggris tidak hanya muncul pada gedung bioskop, tapi juga
di tukang jahit, wisma kecantikan, panti pijat. Malahan
pemakaian bahasa Indonesia dan Inggris sering dirangkap.
Misalnya, di Jalan Tebet Utara Raya, Jakarta, terpampang papan
Panti Pijat Massage. Di sebuah gang di Jakarta ada Liz Taylor.
Itu bukan rumah bintang film Elizabeth Taylor, melainkan
penjahit yang mungkin pemiliknya bernama Liz.
Sebuah bengkel sepeda motor di Jalan Matraman Raya Jakarta
Timur memasang papan nama Dokters Motor Service. Tidak jauh dari
tempat itu banyak rumah makan Cina yang memasang papan Masakan
Chinese Food & Seafood. Sebagian lagi senang menulis Restaurant
& Seafood.
Toko-toko mebel umumnya iebih senang pada istilah furniture.
Tapi katakata yang berhubungan dengan furniture itu sering
menggelikan. Misalnya, toko mebel di Jalan Otto Iskandardinata,
Jakarta Timur, punya papan nama bertulisan Europa Furniture.
Kebiasaan untuk berkenalan dengan kata asing rupanya mulai
ditanamkan sejak kecil. Banyak kelompok bermain (pra sekolah)
yang masih bertahan memakai kata playgroup, misalnya Playgroup
Merry-Go-Round.
Di Yogyakarta, kota pariwisata nomor dua di Indonesia, terdapat
tukang tambal ban press. Ia bukan tukang tambal ban khusus
untuk wartawan Pemiliknya hanya ingin menekankan bahwa ia hanya
melayani penambalan ban sepeda motor dan mobil, bukan sepeda.
Lebih lucu lagi ada acara pelajaran dan pembahasan bahasa
Indonesia dengan nama bahasa Inggris. Round Table Talk pernah
menjadi acara tetap di radio dan televisi Medan sampai 1977.
Pertemuan itu berupa diskusi pendek tentang perkembangan bahasa
Indonesia. Yang berbicara tokoh bahasa, ulama, pendidik dan
tokoh masyarakat. Sayang, tidak diketahui siapa yang mencetuskan
gagasan memakai nama asing untuk diskusi bahasa Indonesia itu.
Pemakaian bahasa asing kadang-kadang karena terpaksa, seperti
dikatakan Paul W. Karnadi dari Matari Advertising. Ia tetap
memakai kata advertising. "karena belum ada terjemahan yang
tpat untuk kata itu. Kalau diterjemahkan, terlalu panjang dan
kurang sreg." Mungkin Karnadi bergurau, karena sebenarnya ia
bisa memakai kata periklanan, yang lebih luas dari kata iklan.
Problem yang dihadapi bahasa Indonesia dalam pemakaian
sehari-hari tidak hanya karena dominasi kata asing. Tapi juga
soal tanda-tanda baca. Pada karcis bis-bis PPD di Jakarta
ditemukan tulisan "Dengan karcis bis ini dirawat agar siap
melayani anda". Tidak ada orang yang mau pusing karena kalimat
yang tanpa koma itu, lantaran para penumpang sudah cukup repot
berebut tempat duduk.
Bahasa Indonesia, kata tokoh bahasa, Takdir Alisjahbana, relatip
masih muda. "Yang penting ialah menjadikan bahasa Indonesia
sebagai alat berpikir," katanya. Kini, tambahnya, tidak relevan
lagi membahas semboyan "bahasa Indonesia harus menjadi
kebanggaan nasional dan alat pemersatu". Yang penting, bagaimana
menerapkan bahasa kita yang sedang tumbuh itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini