Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zuhairi Misrawi
Cendekiawan Muslim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayuk hijrah," sebuah kalimat yang tidak asing di telinga kita akhir-akhir ini. Sebuah istilah yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi perlu penjelasan yang tepat dan benar perihal makna dan konteks hijrah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hijrah merupakan istilah yang sangat familiar bagi umat Islam karena merujuk pada salah satu fase dalam sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, yaitu peristiwa perpindahan Nabi dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah. Sebuah momentum besar yang menandai tonggak pembentukan masyarakat yang adil dan beradab.
Di Madinah, Nabi berhasil membangun masyarakat yang harmonis dan toleran berlandaskan pada kesepakatan bersama, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam tersebut dikenal sebagai konstitusi yang bersejarah karena mampu membangun sebuah masyarakat yang menghargai kebinekaan.
Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam Fiqh al-Sirah, hijrah menjadi sebuah momentum penting dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Sebab, hijrah bukan hanya perpindahan secara fisik, tapi juga mempunyai makna yang sangat mendalam.
Di Madinah, Nabi membangun masjid sebagai pusat peradaban umat. Masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran yang kemudian melahirkan para cerdik-cendekia dan pemimpin.
Selain itu, Nabi membangun persaudaraan sesama muslim, khususnya di antara muhajirin-mereka yang ikut bersama Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah-dan anshar-para pengikut Nabi yang merupakan penduduk asli Madinah. Persaudaraan antara muhajirin dan anshar menjadi modal penting dalam peristiwa hijrah karena persaudaraan sesama muslim akan menjadi teladan bagi umat agama-agama lain. Sebab, inti ajaran Islam pada hakikatnya adalah damai.
Lalu langkah selanjutnya yang dilakukan Nabi adalah membangun persaudaraan dengan umat agama-agama lain, khususnya umat Yahudi yang merupakan umat mayoritas di Madinah pada saat itu.
Karena itu, makna hijrah sangat luar biasa. Sebuah momentum yang menjadikan Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dari Madinah, wajah Islam yang toleran dan moderat ini tersebar ke seantero dunia.
Namun belakangan istilah hijrah mengalami penyempitan makna, bahkan penuh penyimpangan. Kelompok-kelompok ekstremis menggunakan istilah hijrah secara politis untuk menjustifikasi tindakan mereka dalam menghalalkan kekerasan dan kebencian terhadap mereka yang tidak setuju dengan ideologi mendirikan khilafah. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), misalnya, menggunakan istilah hijrah sebagai fase untuk melakukan jihad dalam arti perang untuk mendirikan negara Islam.
Dalam bentuk lain, ada pihak yang memaknai hijrah semacam pertobatan personal setelah hidupnya selama ini bergelimang dosa, kejahatan, atau keburukan perilaku. Padahal istilah hijrah dan tobat adalah dua hal yang berbeda. Atas dasar itu, menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, istilah hijrah sebaiknya tidak digunakan lagi dalam konteks kekinian.
Karena itu, mari kita mengembalikan makna hijrah pada khitahnya sebagai momentum untuk membangun masyarakat yang toleran dan penuh kedamaian. Kita harus berhati-hati dengan istilah hijrah tersebut. Setidaknya, kita tidak terjerembap dalam agenda kelompok ekstremis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo