Alto Labetubun
Master Studi Hubungan Internasional University of Queensland, Australia
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah berakhir ketika kota-kota terakhirnya di Irak dan Suriah direbut kembali oleh kedua negara. Keberhasilan dalam menumpas ISIS itu berdampak positif terhadap stabilitas keamanan di Irak, Suriah, maupun dunia. Dari hasil pemantauan, jumlah insiden keamanan yang berhubungan dengan serangan teror di Irak selama 2014-2017 turun sangat signifikan yang terjadi setelah ISIS tumpas. Pada November ini, misalnya, jumlah insiden yang dilakukan ISIS turun lebih dari 50 persen. Ini berarti kemampuan ISIS untuk meneror sudah hancur.
ISIS, yang dalam tiga tahun terakhir menjadi organisasi teroris paling berbahaya di dunia dengan pendapatan sekitar US$ 2 miliar per tahun, telah jatuh. Lantas, apa yang akan terjadi kemudian dengan gerakan teror global? Untuk menjawabnya, kita perlu membedah karakter dan kemampuan taktis ISIS saat berada pada puncak kejayaannya.
Pertama, metamorfosis ISIS dan mimpi mendirikan khilafah global. ISIS hadir dari keinginan kelompok-kelompok radikal dalam Islam yang ingin mendirikan pemerintahan dunia berdasarkan interpretasi radikal atas syariat Islam. Mereka memanfaatkan instabilitas di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya muslim.
Kedua, proliferasi taktik dan strategi perang asimetris di perkotaan. Pada puncak kekuasaannya di Irak dan Suriah, ISIS menguasai hampir 25 persen wilayah Irak dan sekitar 25 persen Suriah.
Wilayah itu didominasi oleh struktur kota modern dengan bangunan bertingkat dan gang-gang kecil. Dalam pertempuran untuk menguasai daerah-daerah ini, secara alamiah para kombatan ISIS terlatih dalam taktik perang kota. Di Mosul, misalnya, ISIS memakai kombinasi bom mobil, bunuh diri dengan rompi berbahan peledak dan dibantu penembak jitu, serta menggunakan rakyat sipil sebagai tameng hidup. Kemampuan perang asimetris di perkotaan padat penduduk ini tidak dimiliki oleh tentara Irak sehingga operasi perebutan kembali Mosul menjadi sangat lambat.
Di sisi lain, ISIS mengeluarkan sumber dana yang cukup besar untuk mengembangkan metode pembuatan bahan peledak yang mampu lolos dari deteksi agar bisa dipergunakan untuk teror di berbagai sasaran global. Analisis lapangan menunjukkan bagaimana metode dan taktik yang dikembangkan ISIS ini dibagikan ke jaringan ISIS dan organisasi teroris di luar negeri.
Dari karakteristik dan kemampuan taktis ISII ini, maka bisa diambil beberapa kesimpulan. Pertama, sepanjang masih ada mimpi untuk mendirikan kekhilafahan dunia berdasarkan pada pemahaman radikal syariat Islam, maka akan ada gerakan-gerakan terorisme baru atau neoterrorism sebagai metamorfosis pasca-ISIS. Dalam jangka pendek, para mantan kombatan ISIS akan mencari wadah baru untuk tetap meneruskan ide mereka dalam membentuk khilafah global dan kemungkinan besar mereka akan kembali bergabung dengan Al-Qaidah. Ini akan membuat Al-Qaidah kembali menjadi organisasi teroris global paling berbahaya setelah posisi tersebut diambil alih oleh ISIS.
Kedua, akan ada perubahan strategi untuk menciptakan kekhilafahan global tersebut. ISIS mengalami keruntuhan dengan cepat karena terlalu cepat menjadikan dirinya sebagai ancaman di kawasan Timur Tengah maupun global. Taktik pasca-ISIS akan didominasi oleh gerakan-gerakan laten yang minim konfrontasi fisik dan lebih mengutamakan penetrasi ideologi berdasarkan pemahaman radikal syariat Islam. Mereka tidak mengeksploitasi instabilitas seperti ISIS, tapi menciptakan instabilitas di daerah-daerah dengan mayoritas penduduk muslim, termasuk Indonesia. Tujuannya adalah mengambil alih kekuasaan lewat kudeta tak berdarah dari pemerintah setempat yang dianggap sebagai penghambat berdirinya kekhilafahan global.
Penetrasi ideologi radikal ini akan dibarengi dengan serangan-serangan teror dengan target domestik. Dalam kondisi ini, warga negara tertentu dan fasilitas yang menjadi simbol negara tertentu, terutama negara-negara Barat, tidak lagi menjadi sasaran utama. Sebaliknya, simbol dan tokoh negara tempat gerakan tersebut dikembangkanlah yang akan menjadi sasaran. Mereka menciptakan kondisi yang mendiskreditkan pemerintah setempat, termasuk persepsi bahwa pemerintah tidak mampu.
Tujuan utama dari gerakan teror baru ini bukan membunuh orang sebanyak-banyaknya, tapi menciptakan kekhilafahan global. Bila kekerasan tidak efektif, penetrasi ideologilah yang akan menjadi ujung tombak gerakannya. Sasaran utamanya adalah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia.
Namun ideologi tidak mungkin dilawan dengan kekerasan. Ia hanya bisa dilawan dengan ideologi pula. Kita harus memperkuat ketahanan nasional berdasarkan ideologi Pancasila untuk melawannya.