TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Donny Budi Utoyo mengatakan ada 1.285 laporan konten radikalisme sehubungan dengan tragedi pengeboman di Surabaya, Jawa Timur. Laporan itu merupakan akumulasi sejak insiden pertama bom Surabaya pada Minggu, 13 Mei 2018 hingga hari ini, 16 Mei 2018 pukul 08.00 WIB.
"Sesungguhnya, proses yang sudah dilakukan oleh kami jauh-jauh hari dilakukan terus-menerus dan saat kejadian lebih diintensifkan,” kata Donny dikutip dalam keterangan resminya, Rabu, 16 Mei 2018.
Simak: Kominfo Minta Masyarakat Laporkan Konten Radikalisme
Tiga gereja di Surabaya dibom jaringan teroris Jamaah Ansharud Daulah pada Minggu pagi, 13 Mei 2018. Malam harinya, bom meledak di salah satu rusunawa di Jalan Sepanjang, dekat Polsek Taman, Sidoarjo, Surabaya. Tak berhenti di situ, teror bom kembali terjadi di halaman Markas Polrestabes Surabaya, Senin, 14 Mei 2018, sekitar pukul 08.50.
Donny memaparkan, 1.285 laporan itu terdiri dari 22 konten di situs/forum/file sharing, 562 konten di Facebook dan Instagram, 301 di Youtube dan Google Drive, 287 di Telegram, dan 113 di Twitter. Donny mengaku Kementerian Kominfo telah memproses laporan tersebut.
Kemarin, 15 Mei 2018, Rudiantara memaparkan ada penghapusan ratusan akun dan konten radikalisme dan terorisme yang tersebar di media sosial. Kementerian Kominfo fokus di empat media sosial, yakni Facebook, Instagram, Telegram, dan Youtube.
Menurut Rudiantara, lebih dari 280 akun Telegram sudah dihapus. Untuk Facebook dan Instagram ditemukan sekitar 450 akun penyebar konten, 300 akun di antaranya dihapus.
Selanjutnya, terdeteksi sekitar 250 konten di YouTube sarat radikalisme dan terorisme, tapi baru 40 persen konten yang dihapus. Ada juga 60-70 akun Twitter, yang setengahnya telah dihapus.
"Sisanya, kalau tadi dikurangkan, masih dalam proses pemantauan. Ini yang kami lakukan terus-menerus," ujar Rudiantara.
Menurut Rudiantara, Kominfo bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mendeteksi konten provokasi atau radikalisme di media sosial. Konten provokasi yang dimaksud, kata dia, khususnya yang mengajarkan cara membuat bom dan mengetahui jaringan terorisme.