INFO NASIONAL – Akuisisi saham Freeport oleh Indonesia sebesar 51 persen dari sebelumnya hanya 9,36 persen dicapai melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tambang dengan Freeport McMoran. Penandatanganan HoA dilaksanakan pada Kamis, 12 Juli 2018, di Kementerian Keuangan, yang dihadiri Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pro dan kontra muncul terkait dengan kebijakan yang diambil pemerintah ini. Ada yang menilai pemerintah terlalu buru-buru dan harga yang harus dibayarkan Inalum sebesar US$ 3,85 miliar (sekitar Rp 55,44 triliun dengan kurs Rp 14.400 per dollar AS) dinilai terlalu mahal. Salah satu isu yang krusial, yaitu mengapa tidak menunggu kontrak Freeport habis di 2021 sehingga tidak perlu keluar uang.
Terkait dengan problematika ini, terungkap beberapa fakta konkret dalam event diskusi “Ngobrol Tempo: Lika-liku Akuisisi Saham Freeport”, yang dilaksanakan pada Senin, 6 Agustus 2018, di Hotel JS Luwansa, Jakarta. Diskusi dihadiri berbagai kalangan dari pelaku industri, masyarakat awam, mahasiswa, serta media. Bertindak sebagai moderator adalah Redaktur Pelaksana Bidang Ekonomi Bisnis Tempo, Yandhrie Arvian.
Selain itu, hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono. Kemudian, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Fajar Harry Sampurno; pengamat pertambangan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Iwan Munajat; serta Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaikhul Islam Ali.
Gatot mengatakan, divestasi saham sebesar 51 persen untuk kepemilikan peserta Indonesia sesuai dengan Kontrak Karya dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). “Pengambilan kebijakan untuk akuisisi sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjaga kinerja keberlangsungan tambang,” ujarnya. Kalau sampai tambang berhenti beroperasi karena masalah perpanjangan kontrak karya yang berlarut maka akan menimbulkan kerugian besar baik bagi Indonesia maupun bagi Freeport.
Baca Juga:
Divestasi 51 persen merupakan satu dari empat poin utama HoA. Tiga poin lain adalah pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun. Kemudian, peralihan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan memberikan penerimaan negara yang secara agregat lebih besar. Poin keempat adalah perpanjangan operasi produksi selama dua kali 10 tahun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sementara, Iwan mengatakan bila dalam perhitungan yang dia lakukan, harga yang harus dibayarkan Inalum adalah harga fair. “Bahkan, cenderung lebih murah. Berdasarkan perhitungan kami, nilai akuisisi seharusnya US$ 4,5 miliar. Ini momennya tepat dan mencegah berhentinya pengoperasian tambang yang akan berdampak negatif baik teknis, ekonomi, maupun sosial,” katanya. Momen ini, tambah Iwan, adalah kesempatan bagus karena prospek Papua Belt masih besar dan dengan akuisisi ini Indonesia punya kesempatan lebih untuk eksplorasi.
Dari pihak legislatif, Syaikhul, menyatakan dukungan Komisi VII DPR akan HoA. “Ini kemajuan yang sangat berarti. Terlebih dilakukan antara BUMN dengan Freeport. Sehingga menjadi B2B. Proses ke depannya harus lebih terbuka,” tuturnya. Fajar pun mengatakan, bila kebijakan ini adalah akuisisi bukan nasionalisasi atau merampas. "Jadi, sesuai dengan ketentuan undang-undang, baik di dalam dan luar negeri,” ujarnya. (*)