TEMPO.CO, Karangasem - Pelaku ekonomi kreatif dalam membuat branding sebaiknya harus berakar pada lokalitas. “Saat pegiat ekonomi kreatif membangun brand itu harus melibatkan ekosistem di sekelilingnya,” kata CEO Dentsu One Indonesia sekaligus pakar branding Indonesia, Janoe Arijanto, saat berbagi inspirasi dalam Pendampingan Kombet Kreatif yang diadakan oleh Tempo Institute dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada Senin, 10 September 2018 di Taman Soekasada Ujung, Karangasem, Bali.
Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia itu menuturkan, brand itu dikembangkan untuk menegaskan identitas. Karenanya, lokalitas itu amat mempengaruhi seseorang dalam membangun bayangan terhadap produk ekonomi kreatif dan memperjelas perbedaan.
Ia mencontohkan, Pulau Bali bisa disebut sebagai mega brand. “Karena di Bali itu, mulai dari kultur ritual menyatu dengan keindahan alam,” ujarnya. Adapun Karangasem, yang menggunakan branding the spirit of Bali, kata Janoe, sudah tepat lantaran banyak terdapat pura, terutama Pura Besakih dan Pura Lempuyang yang amat disucikan oleh orang Bali.
Menurut Janoe, dengan branding the spirit of Bali, Karangasem telah menampilkan Bali yang berbeda. “Mau beribadah ya di Karangasem,” katanya. Brand ini makin kuat saat ia mengajak anaknya mengunjungi Karangasem. “Kata anak saya, Karangasem adalah senyap, solitude, bukan Bali Pop, tapi Bali yang otentik.”
Sebelum Janoe, pemateri pertama program Pendampingan Kombet Kreatif ini adalah founder radio magno/radio kayu dan spedagi (sepeda dari bambu) yang berbasis di Temanggung, Singgih Kartono. Kepada para pegiat ekonomi kreatif di Karangasem, Singgih memaparkan awal mula ia mendesain sepeda bambu hingga akhirnya bisa membranding sepedanya dan berdaya jual tinggi. “Semua bermula dari kolesterol saya naik sehingga saya harus olahraga dan akhirnya terpikir membuat sepeda dari bambu,” katanya.
Ia menuturkan, bambu yang digunakan sebagai rangka sepeda diperoleh dengan harga tak lebih dari Rp 25 ribu. “Ketika sudah jadi, framenya saja saya berani jual sampai Rp 3,5 juta,” ucapnya. Mahalnya kerangka sepeda itu, menurut dia, selain sebagai penghargaan atas orang yang membuat sepeda itu juga keberhasilan branding yang dibuat.
Sejak berhasil merancang sepeda bambu dan memasarkannya itu, lulusan Desain dan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung itu memilih kembali dan membangun desa. Ia pun berhasil membuat branding desa wisata Papringan di Temanggung, Jawa Tengah sebagai pasar tradisional masa lalu.
Video Desa wisata Papringan yang berkesan jadul itu kini viral di media sosial. Pasar yang hidup berdasarkan penanggalan pasar ini memiliki keunikan seperti penjual yang menggunakan baju lurik, menggunakan mata uang koin dari bambu (pring) dan menjual jajanan pasar.
Di pasar ini, masyarakat bisa bernostalgia merasakan masa Indonesia zaman kerajaan Mataram Islam. Selain menikmati jajanan pasar, pengunjung bisa bermain egrang, sepeda bambu, dan bermain ayunan yang terbuat dari bambu.
“Inilah sebenar-benarnya branding,” kata Janoe saat melihat tayangan video tentang Desa Papringan.