TEMPO.CO, Jakarta - Pelatih Komunikasi Publik, Erwin Parengkuan menilai cara penyampaian pidato para pemimpin di Indonesia banyak yang membosankan. Penjelasan itu juga ada dalam buku terbarunya, berjudul 'How Not To Give A Boring Speech'. "Saya sengaja memilih judul buku ini, sesuai dengan banyak pidato yang saya lihat mewakili kenyataan bahwa pemimpin di negeri ini berpidato dengan membosankan," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 12 September 2018.
Baca: Begini Pidato Lengkap Jokowi Soal Siap Diajak Berantem yang Viral
Menurut Erwin, dalam kenyataannya, para pemimpin yang mewakili organisasinya menyampaikan pidato hanya seperti sebuah slogan yang tidak bernyawa. Sebuah tempelan yang hadir sebagai syarat tanpa tindakan. "Sangat jarang melihat leader berpidato yang selaras dengan nilai budaya organisasinya," katanya.
Erwin mengatakan sungguh menyedihkan melihat perbedaan yang besar antara cara berpidato antara para pemimpin di beberapa negeri asing dengan pemimpin di Indonesia. "Jurang yang besar terlihat bila kita melihat kualitas bicara pemimpin kita dibanding dengan para leader di panggung dunia, seperti yang terlihat di Youtube tau ajang bicara seperti Tedx. Sungguh menyedihkan melihat perbedaan yang besar ini," katanya.
Beberapa kesalahan yang dilakukan para pemimpin negeri dalam berpidato dilihat dari bahasa tubuh yang tidak sesuai. Para pemimpin ini juga hanya membaca teks dan melupakan penonton dan tamu undangan saat berbicara di depan para hadirin. Naskah pidato pun kebanyakan dibuat oleh orang lain yang berbeda isi kepala. Ada pula kasus struktur yang melebar dan tidak sesuai konteks. Selain itu, suara yang datar dan penampilan yang jadul seperti celana terlalu besar, baju motif kuno membuat mereka seperti sosok warga Indonesia di tahun 1980an.
Erwin mengingatkan bahwa para pemimpin di negeri ini adalah corong organisasi, sehingga pembenahan akan cara komunikasi harus dari level pemimpin dan diikuti bawahannya, bukan sebaliknya. "Cara pidato model orde baru sudah usang dan tidak berdampak apalagi terhadap era digital saat ini," katanya.
Pidato yang baik, menurut Erwin, disampaikan kepada publik dengan tidak hanya mengutamakan makna pidato itu, namun juga tidak boleh banyak pesan, tidak menggurui, tepat sasaran, tidak melebar dan bertele-tele.
Dari pengamatan Erwin selama 15 tahun di panggung pelatihan pidato, latihan berbicara membuat mereka lebih unggul dengan menggali potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tidak mudah memang membongkar 'isi kepala' para pemimpin ini atau grup dan meyakini mereka dengan hal baru yang ditawarkan Erwin. Ada pemimpin yang memerlukan waktu hingga 2 tahun untuk membantunya terbuka dan berubah dalam berpidato, ada pula yang membutuhkan hanya 1 kali pertemuan saja. "Semua berpulang kepada setiap individu, apakah mereka terbuka atau sulit menerima masukan? Seseorang harus sadar dulu untuk mau berubah" katanya.
Baca: Berani Koreksi Pidato Jokowi, Pria Ini Dapat Sepeda
Kata-kata, menurut Erwin, dapat menggerakkan organisasi yang mereka pimpin. "Sedih melihat para pemimpin berbicara, sedang hadirin sibuk sendiri tidak memperhatikan bahkan menertawakan. Ada yang perlu diperbaiki dari cara pidato mereka," kata Erwin.
Ia pun menerbitkan tentang cara memberikan pidato. "Seperti yang tertulis di halaman belakang, 'paket lengkap yang menjawab kebutuhan tentang komponen utama sebuah pidato yang menarik," kata Erwin.