TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia atau BI, Doddy Zulverdi menjelaskan pelemahan rupiah dengan menggunakan analogi sawah dan ketergantungan dengan air irigasi. Penjelasan Doddy, tersebut disampaikan dalam sebuah diskusi bertajuk "Ke mana Arah Rupiah?" hari ini di Kompleks Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan.
Baca: Rupiah Tak Menguat, Sri Mulyani Salahkan Lifting Minyak
"Pelemahan rupiah ini, ibarat sawah atau ladang yang tergantung dari air dari irigasi. Sawah itu ekonomi domestik, irigasi adalah The Fed dan air itu adalah dolarnya," kata Doddy, dalam acara itu, Rabu, 19 September 2018.
Doddy menjelaskan, untuk membuat sawah yang baik, memerlukan air yang cukup dari irigasi tersebut. Namun, harus diperhatikan bahwa aliran irigasi dan jumlah debit air irigasi tersebut dikendalikan oleh faktor eksternal di luar pemilik sawah. Artinya, irigasi merupakan kuasa penuh bagi The Fed alias Bank Sentral Amerika Serikat.
Saat ini, kata Doddy, kondisi sawah sangat bergantung dengan irigasi dan debit air yang masuk. Artinya, ekonomi domestik masih membutuhkan dolar Amerika Serikat untuk melakukan transaksi impor.
Apalagi, ekonomi Indonesia saat ini sangat bergantung pada barang impor termasuk impor bahan baku. "Pembangunan masih membutuhkan banyak barang yang belum bisa dihasilkan sendiri, seperti barang dengan teknologi tinggi maupun barang modal," kata Doddy.
Sementara itu, Doddy melanjutkan, sang pemilik irigasi sedang melakukan membatasi ke mana aliran air ke sawah yang mengalir. Termasuk menjaga debit air supaya tak mengalir terlalu banyak.
Pembatasan itu dilakukan dalam rangka mengantisipasi kondisi ekonomi domestik pemilik irigasi alias Amerika Serikat yang berpotensi mengalami overheating atau permintaan tinggi terhadap dollar yang tidak bisa disuplai. Jika permintaan tinggi tidak bisa disuplai dari dalam negeri terus terjadi dikhawatirkan dapat memicu meningkatnya inflasi.
Sebab, saat ini kondisi perekonomian Amerika sedang mengalami pertumbuhan sehingga potensi terjadinya overheating juga meningkat. Apalagi, diperkirakan overheating bakal terjadi pada lima tahun mendatang.
Oleh karena itu, untuk mengendalikanya, Pemerintah Amerika Serikat perlu mengendalikan debit dolar dengan cara menaikkan suku bunga acuan. "Secara otomatis, kondisi ini membuat negara-negara pembeli dollar, akan menerima lebih sedikit dollar AS dan harganya bisa tinggi," ujar Doddy.
Kondisi-kondisi itulah yang kemudian mengakibatkan banyak investor memindahkan aset kepada mata uang dolar sekaligus merelokasi investasi dari negara lain menuju Amerika Serikat. Hal itulah yang kemudian menyebabkan dollar AS keluar dari negara berkembang seperti Indonesia, ketika dolar Amerika Serikat dibutuhkan.
Semua kondisi inilah, yang bergerak secara berbarengan dan berdampak pada pelemahan pada nilai tukar, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pelemahan atau depresiasi rupiah sejak kuartal kedua memang menjadi bahan perbincangan publik. Menurut data BI, sejak Januari hingga September 2018 atau year to date, rupiah telah melemah sekitar 7,5-8 persen. Sedangkan merujuk data RTI, secara year to date, rupiah telah melemah sebesar 9,81 persen.
Baca: Sampai Kapan Rupiah Bakal Loyo? Begini Prediksi BI
Sementara itu, Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR, nilai tukar rupiah berada pada angka Rp 14.896 per dolar Amerika Serikat pada Rabu, 19 September 2018. Adapun, di pasar valuta asing, merujuk data RTI, rupiah diperdagangkan sebesar Rp 14.886 per dolar Amerika Serikat.