Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Takdir

image-profil

Oleh

image-gnews
Takdir Alisjahbana
Takdir Alisjahbana
Iklan

Pada 1935, seorang penyair Indonesia berumur 27 tahun angkat bicara atas nama generasinya, ketika ia menulis sebuah sajak yang kemudian terkenal:

Kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun,

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun,

dari mimpi yang nikmat.

Ombak ria berkejar-kejaran

di gelanggang biru di tepi langit.

Pasir rata berulang di kecup,

tebing curam ditentang diserang,

dalam bergurau bersama angin,

dalam berlomba bersama mega.

Sejak itu jiwa gelisah

selalu berjuang tiada reda.

Ketenagan lama serasa beku,

gunung pelindung rasa pengalang.

Berontak hati hendak bebas,

menyerang segala apa mengadang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tampak, Takdir Alisjahbana dalam sajak itu ingin menunjukkan optimisme bersama. Ia berbicara atas nama "kami". Ia menyuarakan lagu gembira orang yang berangkat, meninggalkan kehidupan yang tenteram tapi mandek ("tasik yang tenang tiada beriak"). Sebab terus-menerus hidup dalam proteksi "gunung yang rimbun" bukanlah pilihan yang baik.

Dalam hal ini, Takdir adalah bagian dari gairah Pencerahan, Aufklärung. Kita ingat ini semangat yang di Eropa digambarkan Kant sebagai lepasnya manusia dari posisi tak mandiri, Unmündigkeit. Manusia pintar tapi tak berani berpikir sendiri. Maka Kant pun berseru: "Beranilah, Sapere aude!"

Takdir kurang-lebih menyerukan hal yang sama, meskipun saya kira ia belum membaca sendiri esai Kant dari tahun 1784 itu. Sapere aude! jadi moto yang, meskipun tak dipungut Takdir, telah menggerakkannya jadi suara modernitas yang yakin.

Di Indonesia dalam dasawarsa 1930-an (di bawah rezim Hindia Belanda), "Pencerahan" adalah semangat untuk apa yang oleh Takdir disebut sebagai reconstructie arbeid,kerja untuk kemajuan bangsa.

Di sini ada paradoks dalam kolonialisme di Indonesia: penjajahan tak mematikan pengharapan, bahkan jadi ajang penggladian optimisme. Mungkin ini karena dalam kebangkitan nasional kita ada pengaruh Marxisme yang memprediksi runtuhnya kapitalisme dan imperialisme. Prediksi itu, meskipun kemudian tak terbukti, memberi alasan kepada para aktivis pergerakan nasional untuk bergerak terus. Mungkin juga optimisme itu punya sumber yang lebih dalam: sebenarnya yang disebut masa penjajahan, sejak hadirnya Belanda di Banda Neira sampai dengan Aceh, adalah juga masa perlawanan. Sang penjajah terus-menerus guyah.

Optimisme dalam berpikir dan bertindak itulah yang membuat Takdir, seperti tokoh-tokoh pergerakan nasional, berani, penuh cita-cita, tapi-dan ini sebuah paradoks lain-sebenarnya terjebak. Takdir meyakini masa depan. Masa depan membentuk seluruh perspektifnya. Ia menumbuhkan "prasangka" tersendiri-yang oleh Gadamer disebut sebagai "prasangka Pencerahan". "Prasangka" ini menghalanginya melihat jalan "kemajuan" sebagai sesuatu yang sebenarnya tak bersih dan tak lurus.

Dalam sajak di atas, imaji Takdir tentang laut adalah samudra yang dinamis-sebuah alegori zaman baru: "ombak ria berkejar-kejaran", menantang "tebing curam". Tapi bila kita dengarkan saksama, bait itu tak sedikit pun memantulkan suara guncangan, kegaduhan, atau keributan. Ada enam baris yang teratur-pengulangan sepuluh suku kata-dan tak ada ungkapan yang mengejutkan. Pendek kata, stanza ini mengumandangkan keteraturan, dengan alun yang mudah ditebak-sebuah proses dalam kepastian. Di ujung sana, akan ada "pasir rata" yang bisa "dikecup".

Bahkan jika dalam mengarungi lautan modernitas itu ada yang terjerembap, tetap tak ada kemelut, tak ada kegetiran. Semua merdu dan rapi:

Gemuruh berderau kami jatuh,

terhempas berderai mutiara bercahaya.

Gagap gempita suara mengerang,

dahsyat bahna suara menang.

Keluh dan gelak silih berganti

pekik dan tempik sambut menyambut

Dalam pertengahan dasawarsa 1930-an itu, Takdir dan generasinya tentu belum bertemu dengan gambaran muram Mazhab Frankfurt dan disilusi Adorno dan Horkheimer kepada ilmu, modal, teknologi-hal-hal yang dipujikan Pencerahan yang ternyata akhirnya hanya sebuah perbudakan baru. Takdir tak akan menyangka, di ujung perjalanannya ia akan menemui yang kemudian digambarkan Adorno sebagai hidup yang cedera, beschädigtes Leben. Hubungan ilmu dan teknologi dengan dunia ternyata sama dengan hubungan sang diktator dengan umat manusia. Manusia ditelaah, jadi obyek ilmu, kemudian dimanipulasi.

Pesimisme seperti itu tentu tak diterima Takdir masa itu. Juga tak sesuai lagi dengan zaman ini. Problem manusia dengan ilmu dan mesin masih gawat dari saat ke saat. Tapi agaknya kita masih perlu "menuju ke laut", meninggalkan perlindungan yang memberi rasa aman. Rasa aman itu tak akan bertahan. Perubahan terjadi tiap saat, dengan lekas. Maka mengarungi laut yang tak bisa diduga masih niscaya. Sapere aude. Beranilah mandiri, terutama dalam berpikir dan memutuskan. Tasik yang tenang itu bisa hanya sebuah jebakan.

Dan pada saat yang sama, kita, di masa ini, perlu juga menguak Takdir-jika Takdir berarti keserbapastian.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

2 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

6 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

21 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

22 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

42 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

45 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

45 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

51 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

52 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

52 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.