TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mewanti-wanti pemerintah agar tidak mengeluarkan kebijakan, khususnya di bidang ekonomi, yang memberi sentimen negatif di pasar. Apalagi, belakangan rupiah terus menguat.
Simak: Indef: Utang dan Defisit Bisa Jadi Pencabut Nyawa Ekonomi RI
"Jangan bikin blunder lagi, misalnya pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak kemarin, dinaikan lalu diturunkan itu menjadi sentimen negatif bagi pasar," kata Enny di Restoran Rantang Ibu, Jakarta, Rabu, 7 November 2018.
Pekan ini, nilai tukar rupiah terus mengalami penguatan. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, rupiah dibuka di level Rp 14.972 per dolar AS. Padahal, Jumat pekan lalu, 2 November 2018, kurs menginjak Rp 14.972 per dolar AS.
Rupiah melaju menguat dengan menginjak Rp 14.891 per dolar AS pada Selasa, 6 November 2018 dan menginjak Rp 14.754 per dolar AS pada hari ini.
Enny mengatakan nilai tukar rupiah memang cenderung bergejolak. Apalagi saat mendekati momen-momen tertentu seperti Asian Games 2018, pertemuan IMF - Bank Dunia, hingga rapat dewan gubernur Bank Indonesia. Mengutip riset Bloomberg, Enny berujar rupiah memang masuk ke dalam enam mata uang yang rentan.
Hingga akhir tahun nanti, Enny melihat ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi rupiah. Salah satunya adalah tekanan kewajiban 'luar negeri', misalnya membayar bunga dan cicilan utang, maupun kebutuhan repatriasi devisa.
Di sisi lain, masih ada ancaman tekanan dari rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed. Ia yakin tinggal menunggu waktu sampai negeri Abang Sam menaikkan suku bunganya.
"Jadi meskipun rupiah menguat, saya yakin rupiah masih akan di kisaran asumsi pemerintah, yakni Rp 15 ribu," ujar Enny. Indef menyarankan pemerintah terus menjaga fluktuasi rupiah agar tidak melebihi angka Rp 15 ribu.