TEMPO.CO, Depok - Staf Ahli Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional atau Bappenas, Bambang Priambodo yakin pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada 2018 sebesar 5,2 persen. Menurut Bambang, hal ini bisa dilihat dari kepercayaan masyarakat terhadap geliat ekonomi.
Baca juga: Darmin Jelaskan Sebab Jawa Masih Dominasi Pertumbuhan Ekonomi
"Pertama kami lihat confident-nya terasa kuat, memang ada demand terhadap impor besar, tapi kalau dilihat confident, dari segi daya beli, kemudian dari investasi meskipun ada angka melambat dari BKPM," kata Bambang di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin, 12 November 2018.
Menurut Bambang, jika dilihat dari penyaluran kredit yang sudah mencapai 12 persen, ada kepercayaan yang terus berjalan dalam situasi ada tekanan. Bambang menilai jika pertumbuhan kredit itu bisa tetap dijaga, akan mampu meningkatkan kepercayaan. Dan sebaliknya, kata Bambang, jika itu turun itu akan menjadi faktor yang bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi triwulan III 2018 sebesar 5,17 persen. Angka tersebut tercatat lebih rendah ketimbang triwulan II 2018 yang mencapai 5,27 persen dan lebih tinggi ketimbang triwulan I 2018, yang sebesar 5,06 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,17 persen.
Kepala BPS Suhariyanto berujar pertumbuhan pada triwulan ini sedikit lebih lambat ketimbang triwulan sebelumnya lantaran sebelumnya ada momen Ramadan dan hari raya Idul Fitri. "Itu biasanya puncak konsumsi rumah tangga dan transportasi," ujar Suhariyanto di Kantor BPS, Jakarta, Senin, 5 November 2018.
Menurut Bambang, Indonesia relatif mampu menghadapi tekanan yang cukup tinggi. Pun cukup bisa menghadapi tekanan eksternal, baik dari normalisasi kebijakan moneter AS, perang dagang dan politik lainnya.
"Terakhir juga kita bisa kelola situasi moneter dengan baik semoga kita pertahankan sampai seluruh eksternal membaik," kata Bambang.
Bambang memperkirakan gejolak perekonomian dunia masih terjadi tahun depan hingga awal 2020. Sebab, siklus normalisasi kebijakan moneter AS cukup lama.
"Tapi saya kira normalisasi bertahap tidak mendadak sehingga itu jika sudah di-declare. Maka antisipasi akan di atas kertas mengalir tekanan yang tidak besar. Yang repot waktu menormalkan kebijakan moneter ada titik di beberapa negara yang memicu kekhawatiran di negara lain," kata Bambang.
Tapi, kata dia, policy normalnya bertahap. Karena itu pemerintah dan Bank Indonesia tetap menjaga stabilitas ekonomi.
Baca berita lain tentang pertumbuhan ekonomi di Tempo.co