TEMPO.CO, Solo - Butuh waktu cukup lama bagi Muhammad Fauzan, 32 tahun, untuk bangkit lagi menjadi sosok yang mandiri setelah menderita low vision yang akhirnya merenggut kemampuan indera penglihatannya. Fauzan adalah atlet tunanetra berprestasi dari Kabupaten Klaten yang menyabet medali perak dan perunggu di nomor lari 200 meter dan 100 meter di Pekan Paralimpik Provinsi atau Peparprov III/2018 Jawa Tengah yang diselenggarakan di Kota Solo pada 13 - 16 November 2018.
Baca: Kisah Miswan, Penjahit Difabel yang Jadi Atlet Renang Nasional
"Saya mulai tidak bisa melihat sejak kelas 6 SD (sekitar tahun 1997-1998). Dan saya baru ikut kursus di Panti Sosial Bina Netra di Kota Solo pada 2012, saat usia saya sudah 26 tahun," kata Fauzan saat ditemui Tempo di sela istirahat seusai meraih medali perunggu dalam pertandingan nomor lari 100 meter kelas T11 di Stadion Sriwedari Solo pada Kamis, 15 November 2018.
Satu pagi saat bangun tidur menjelang ujian kelulusan sekolah dasar, Fauzan mengatakan, kedua matanya tiba-tiba tidak bisa melihat. "Jadi tidak bertahap dari rabun atau buram dulu, tapi langsung blank. Kata dokter, saya kena low vision karena ada saraf yang lemah. Pernah dioperasi sekali tapi tetap tidak dapat menolong," kata Fauzan mengenangkan masa kecilnya.
Putus asa karena tunanetra, Fauzan pun mengurung diri di rumah meski ujian nasional sudah kian dekat. Walhasil, anak kedua dari tiga bersaudara dari keluarga perajin batu-bata itu tidak lulus SD. "Sebenarnya paman saya sempat menawarkan solusi untuk lanjut ke SMP. Tapi saya takut, terlalu lama mempertimbangkan, sampai akhirnya batal," kata warga Desa Gondang, Kecamatan Kebonarum, Klaten, itu.
Muhammad Fauzan, atlet sprinter tunanetra saat istirahat di tribun Stadion Sriwedari sebelum bertanding di Peparprov III/2018 Jawa Tengah. Dinda Leo Listy / SURAKARTA
Sejak itu, Fauzan menghabiskan hari-harinya dengan bekerja membantu kedua orang tuanya mencetak batu-bata dari tanah liat. Setelah bertahun-tahun mengurung diri, Fauzan akhirnya mendaftar kursus di PSBN dan belajar di sana selama 2 tahun.
Selain menimba ilmu pijat, di PSBN mental Fauzan juga digembleng agar menjadi sosok yang optimistis, mandiri, tangguh, serta tidak menyerah pada keterbatasan fisiknya. Di PSBN pula Fauzan menemukan semangat untuk bangkit setelah berkenalan dengan banyak teman sesama difabel netra.
Artikel lainnya:
Atlet Asian Para Games 2018, Laura Aurelia: Jangan Remehkan Jatuh
Setelah lulus dari PSBN, Fauzan mulai membuka usaha pijat di rumahnya. Meski tidak menentukan tarif dari jasa layanan pijat kebugarannya, Fauzan mengaku mendapat penghasilan yang cukup untuk menafkahi istri dan satu anaknya.
"Pesan saya kepada teman-teman difabel netra, jangan menutup diri. Keluarlah, cari teman sebanyak mungkin. Insya Allah akan menemukan banyak peluang yang tak disangka-sangka," kata Fauzan yang kini menjadi atlet karena ajakan temannya sesama difabel netra yang lebih dulu berkecimpung di dunia olahraga.
Selain menjanjikan penghidupan yang lebih layak, menjadi atlet paralimpik juga membuka ruang bagi Fauzan untuk memaksimalkan potensi diri guna menjadi sosok yang berprestasi dan membanggakan bagi orang lain. "Selama tubuh saya masih kuat, saya akan terus berlatih agar bisa bertanding ke ajang internasional," kata Fauzan.