Ini kisah satu malam.
Seperti beberapa film Indonesia yang pernah beredar yang berkisah tentang satu malam yang penuh drama dan ketegangan macam “Jakarta Undercover” (Lance, 2007) atau “Lovely Man” yang juga merupakan karya Teddy Soeriaatmadja. Ini kisah semalam yang kemudian menyajikan berbagai persoalan yang menghadang sang protagonis untuk menyelesaikan sebuah persoalan.
Tetapi film-film semacam Jakarta Undercover, apalagi Lovely Man adalah kisah dewasa yang penuh kedalaman, kisah tentang manusia kota lengkap dengan berbagai konflik batin dan jiwa.
“Menunggu Pagi” adalah kebalikan dari unsur itu semua. Semua pemainnya adalah anak-anak muda milenial yang memerankan anak-anak muda milenial. Di luar Mario Lawalata dan Yayu Unru yang berperan sebagai pengedar narkoba dan bos narkoba, anak-anak muda ini berperan sebagai tokoh-tokoh yang hanya memikirkan diri sendiri; yang oleh majalah Time pada laporan utama “Me Me Generation”, inilah generasi yang peduli pada diri sendiri atau apapun yang hanya berhubungan dengan dirinya. Inilah laporan utama yang membuat banyak pembaca, termasuk saya, jadi jengkel. Tapi setelah menyaksikan film ini, rasanya majalah Time lumayan akurat. Coba saksikan (semoga film yang cuma bertahan sebentar di bioskop ini ditayangkan kembali).
Ketika layar dibuka dengan adegan gebyar sebuah klab malam dengan musik dan DJ (Mario Lawalata). Dari menit-menit pertama lantas kita diperkenalkan ada beberapa kelompok anak muda yang punya urusan masing-masing tapi semua bermuara pada satu pesta besar yang paling menghebohkan sejagat.
Pertama, sang DJ yang malam itu tidur dengan perempuan cantik dan pagi-pagi sudah sibuk mengemas paket narkoba lalu mandi bersama si perempuan itu. datanglah kekasihnya yang berwajah manis, belia dan membawa berbagai kado untuk merayakan tiga tahun hubungan mereka (untuk informasi saja untuk generasi X atau baby-boomer: anak masa kini juga punya ‘anniversary’ hubungan dengan pacar. Bukan monopoli mereka yang sudah menikah saja ya bapak, ibu, uwak, bibi… dst).
Mereka bertengkar hebat dong. Wong si DJ ganteng itu sedang mandi bersama cewek lain. Dan si DJ ini masih bisa lo membujuk pacarnya bahwa dia banyak persoalan (terus, kalau banyak persoalan, solusinya tidur sama cewek lain? Ada-ada saja kau mas DJ). Pokoknya Sara (Aurelie Moremans) marah, memutuskan hubungan sekaligus menunjukkan foto ‘mantan pacar’, Kevin (Raka Hutchison) yang katanya akan mengajak gabung ke acara Djakarta Warehouse Project.
Nah acara Djakarta Warehouse Project, yang sepanjang film disebut DWP ini adalah sebuah acara pesta besar nyata yang menghebohkan sejagat karena harga tiketnya dan karena isinya hiburan music dari DJ berbagai negara (untuk generasi tu , ini info lain supaya kalian tidak tersedak: DJ masa kini yang sedang beraksi disebut “konser”. Iya. Konser. Makanya James Corden, pembawa acara The Late Late Night Show itu tak habis-habisnya bergurau kok memilih lagu dan mixing saja disebut ‘konser’).
Nun di sebuah pojok Jakarta, Kevin saling berjanji dengan si mantan pacar Sara untuk mengambil undangannya di sebuah toko vinyl milik Bayu. Di toko vinyl itu, Sara bertemu dengan Bayu (Arya Saloka), pemuda yang dari seluruh gerombolan tokoh dalam film ini paling terlihat “baik-baik”, bertanggung jawab karena diajak gabung ke DWP dia selalu menolak dengan alasan “harus menjaga toko”.
Sementara di pojok lain kelompok Kevin, Adi, Rico (Arya Vasco) tengah bersiap juga ke DWP sembari membawa dompet Bayu (urusan dompet ini agak aneh, kenapa tidak kasih duit saja. Kok seluruh dompet… tapi sudahlah).
Pemberian dompet Bayu kepada Adi (Bio One) kemudian menjadi pusat ‘drama salah kaprah’. Sepanjang malam, di antara drama cinta antara mas DJ, Sara dan Bayu, terjadi pula drama dompet dan salah komunikasi di antara remaja-remaja lelaki. Perasaan yang lahir menyaksikan tingkah anak-anak milenial ini adalah campuran jengkel, ngeri dan lucu.
Sebetulnya film dan skenario film ini dijalin dengan rapi, penuh perhitungan bahwa klimaks film ini akan bermuara pada acara DWP di mana segala yang asyik dan berkilap akan terjadi. Para pemain semuanya tampil bagus terutama Aurelie Moremans dan Bio One. Tetapi film yang sebetulnya bertujuan membuat film ‘ringan’ ala anak muda sekaligus menjadi horor bagi orangtua seperti saya: apa yang diulas majalah Time memang benar, bahwa generasi milenial umumnya generasi yang begitu mudah mendapatkan segalanya, entitled (merasa berhak memperoleh apa yang diinginkan tanpa berusaha), dan dalam alam pikirannya hanya ada “me,me..”
Film ‘Menunggu Pagi’ mengambil genre drama remaja yang mengangkat problematika remaja dengan latar ajang festival musik tahunan terbesar Djakarta Warehouse Project (DWP). Disutradarai Teddy Soeriaatmadja
Tokoh-tokoh yang digambarkan Teddy, kecuali Bayu yang masih memikirkan tanggung jawabnya di toko, adalah tokoh-tokoh yang sama sekali tidak ada ucapan soal sekolah, atau pekerjaan atau apa pun yang berbau tanggung jawab. Pada otak mereka ya hanya ada DWP, dansa, jingkrak girang, pacar, dan hura-hura. Tentu saja saya sangat tidak ingin khutbah moral, karena ngapain sih menasehati anak-anak berusia 20-an yang telinganya sudah disumpel earphone? Film Teddy ini membuat kita merinding, patah hati dan bertanya-tanya: apakah generasi milenial dan generasi Z memang demikian sikapnya (ingat, mereka inilah yang akan memimpin Indonesia di masa yang akan datang)? Semoga itu hanya sekelumit kehidupan anak-anak muda Indonesia. Dan semoga pula generasi milenial, tak segawat yang digambarkan majalah Time, meski fakta di lapangan tampaknya menunjukkan betapa akuratnya majalah tersebut.
Sembari menanti jawaban dari pertanyaan yang menakutkan itu, saya menanti kelahiran (kembali) generasi milenial yang siapa tahu akan lebih memikirkan orang lain, sekaligus menunggu karya Teddy berikutnya yang lebih saya kenal seperti Trilogy Intimacy.
MENUNGGU PAGI
Sutradara: Teddy Soeriaatmadja
Skenario: Teddy Soeriaatmadja
Pemain: Arya Saloka, Mario Lawalata, Aurelie Moremans, Raka Hutchison, Arya Vasco, Putri Marino, Bio One, Yayu Unru