TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan ekonomi Indonesia banyak terpengaruh dengan suku bunga acuan Amerika Serikat. Hal itu kata Mirza dilihat dari 2000 sampai 2018.
Simak: Bank Indonesia: Transaksi Modal dan Finansial Surplus USD 4,2 M
Mirza mengatakan pada 2001 suku bunga AS turun, karena menara World Trade Center di New York di-bom, suku bunga Indonesia turun, kurs bisa menguat. Pada 2004-2005 suku bunga AS mulai naik. Mirza mengatakan saat itu kurs rupiah mulai lemah, karena itu suku bunga terpaksa naik. Menurut Mirza pada 2009 pada waktu AS turunkan ke 0,25, karena krisis global, suku bunga Indonesia bisa turun, kurs rupiah bisa menguat.
"Ternyata korelasinya kuat, nothing to do dengan presidennya siapa," kata Mirza di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat, 16 November 2018.
Sedangkan saat 2018, kata Mirza, arus modal yang mulai mengetat karena kesalahan respons pasar dalam memprediksi suku bunga acuan The Fed yang naik hanya dua kali, padahal sinyal kenaikan suku bunga The Fed empat kali. Sehingga, kata Mirza mereka harus melakukan penyesuaian dengan mengalirkan modalnya kembali ke AS.
"Fed bilang naik empat kali, market bilang dua kali. Yang benar kemudian kan The Fed. Fed tetep naik empat kali, marketnya kemudian menyesuaikan diri, itu terjadi penguatan dolar. Ini semua ekonomi bukan politik," ujar Mirza.
Lebih lanjut Mirza mengatakan sebagai negara yang masih mengalami defisit neraca perdagangan barang dan jasa, Indonesia masih membutuhkan devisa dari negara asing, khususnya dolar AS. Karena itu, kata Mirza, pergerakan kurs lebih dipengaruhi pergerakan suku bunga AS maupun perekonomiannya.
Menurut Mirza yang menjadi penyebab saat suku bunga acuan bank sentral AS mulai terus merangkak naik sejak 2015 hingga 2017, sedangkan suku bunga acuan Bank Indonesia justru turun, itu dikarenakan keberhasilan Indonesia mengendalikan inflasi yang turun ke 3 persen. Juga, kata Mirza, defisit transaksi berjalan yang berhasil kendalikan dari di atas 4 persen diharapkan bisa di bawah 2 persen dari produk domestik bruto.