Putu Setia
@mpujayaprema
TIBA-tiba saya sependapat dengan Romo Imam bahwa Mahkamah Agung itu sebaiknya diisi hakim yang peka ketimbang ahli tafsir. Tidak dibutuhkan hakim yang pintar menafsirkan pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang. "Barangkali seperti hakim Artidjo Alkostar," kata Romo Imam.
Artidjo, menurut Romo Imam, terkesan tidak memamerkan kepiawaiannya dalam menafsirkan hukum, bahkan mungkin mengabaikannya. Namun dia peka terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, orang yang melakukan korupsi itu jelas orang jahat. Koruptor itu orang pintar, orang sekolahan, tapi mereka merampas hak orang miskin untuk hidup lebih baik dengan menggarong kekayaan negara. Karena itu, hukumannya harus berlipat-lipat dibanding pencuri kambing.
"Coba kita lihat vonis hakim-hakim di Mahkamah Agung saat ini, sepertinya tak ada pijakan yang nyambung dengan keadilan yang ada di masyarakat," kata Romo Imam lagi. Romo memberi contoh vonis kasasi untuk Ibu Guru Baiq Nuril di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Bu Guru honorer ini mengalami pelecehan seksual oleh kepala sekolahnya. Bu Nuril kemudian merekam percakapan yang melecehkan itu sebagai bukti ada suatu peristiwa. Lalu, oleh rekannya, rekaman itu disebarkan. Nuril, yang menjadi korban pelecehan, dilaporkan ke polisi dengan dakwaan melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam sidang di pengadilan negeri, hakim membebaskan ibu tiga anak ini.
Hakim di Lombok bisa jadi tidak begitu pintar, tapi peka. Orang tak bersalah tak bisa dihukum. Wong nyata yang menyebarkan rekaman itu bukan Bu Nuril, kenapa dia harus dihukum? Namun jaksa adalah aparat hukum yang pintar. Dia tahu ada aturan di instansinya, kalau hukuman bebas, harus dikasasi. Maka dilayangkan kasasi ke Mahkamah Agung, dan seperti kita sudah tahu, hakim kasasi menyatakan Nuril bersalah. Ibu ini menangis akan dihukum enam bulan penjara dengan denda Rp 500 juta. Eksekusi segera dijalankan.
"Coba periksa lagi kasus gugatan Oesman Sapta Odang yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung," Romo lmam melanjutkan. Ketua Umum Partai Hanura ini dicoret pendaftarannya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum. Orang-orang desa yang tak paham hukum pun tahu bahwa calon anggota DPD itu berbeda dengan calon anggota DPR. DPD mewakili daerah bukan mewakili partai, sementara DPR mewakili partai politik. Sudah pasti calon DPD itu harus independen, netral dari partai politik. Pak Oesman yang mendaftar menjadi calon anggota DPD malah ketua umum partai. Maka KPU pun mencoretnya sebelum dia mengundurkan diri sebagai pengurus partai, sebagaimana keadilan bagi yang lainnya pula. Apalagi Mahkamah Konstitusi yang kebetulan "hakimnya pintar dan peka" sudah memutuskan hal yang sama. Lha, kok hakim Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Oesman dan meminta KPU membolehkan ketua umum partai ini jadi calon anggota DPD? "Sederhana sekali. Itu pasti karena hakim MA pintar-pintar untuk mencari celah di mana letak kekurangan atau ketidaksinkronan undang-undang atau peraturan di negeri ini," kata Romo.
Saya ingin membantah Romo. Namun saya teringat pada karya sastra zaman baheula, prinsip dasar dari mencari keadilan bukan pada proses memilah-milah aturannya, melainkan mencari kebenaran. Aturan bisa keliru dan tumpang-tindih, tapi kebenaran ada dalam kepekaan hati karena pemilik kebenaran sejati adalah Tuhan. Bukankah hakim dalam menjatuhkan vonis ibaratnya mengatasnamakan Tuhan? Mohonlah keadilan kepada-Nya dan itu bisa dilatih dengan jujur pada nurani sendiri.