Chuck Suryosumpeno dan Ngalimun menunjukkan ironi kejaksaan. Dua jaksa itu disangka menggelapkan barang bukti perkara korupsi yang dulu mereka tangani. Jika kasus ini terbukti, negara dirugikan dua kali atas perbuatan pidana mereka.
Awalnya adalah terbitnya daftar tunggakan pengembalian aset yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan pada Maret 2013. Kejaksaan Agung menemukan kejanggalan dalam prosedur penyitaan tiga aset terpidana pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Hendra Rahardja. Pengadilan telah memvonis pemilik Bank BHS itu penjara seumur hidup. Ia dinyatakan mengemplang Rp 2,6 triliun dana BLBI untuk banknya.
Chuck merupakan pemimpin Satuan Tugas Penyelesaian Barang Rampasan dan Sita Eksekusi yang menyita aset Hendra Rahardja di Jatinegara dan Puri Kembangan di Jakarta, serta Cisarua di Jawa Barat. Alih-alih memastikan semua aset hasil korupsi itu disetor ke negara, Chuck dituduh menggelapkannya.
Kejaksaan Agung menuduh Chuck dan Ngalimun menjual murah aset sitaan tanpa prosedur. Mereka hanya mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 22,5 miliar untuk tiga aset, yang menurut taksiran Kejaksaan Agung, bernilai Rp 1,91 triliun.
Chuck dan Ngalimun memperburuk citra kejaksaan yang gagal menangani megaskandal ini. Sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2000, penggelontoran dana bantuan likuiditas dari bank sentral untuk 48 bank pada masa krisis telah merugikan negara Rp 138,442 triliun. Jumlah itu merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran bantuan ini senilai Rp 144,536 triliun.
Penanganan kasus Chuck dan Ngalimun akan menjadi ujian keseriusan kejaksaan dalam pengusutan perkara ini. Jaksa Agung Prasetyo ketika dilantik pada 2014 berikrar bahwa salah satu prioritas kerjanya adalah menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang bersih. Ia semestinya menjalankan janji itu dengan memerintahkan bawahannya membongkar perkara Chuck dan Ngalimun.
Wajah kejaksaan sebelumnya telah berkali-kali tercoreng akibat penangkapan setidaknya enam jaksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak tiga tahun lalu. Di antaranya penangkapan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra Prasetya pada Agustus tahun lalu. Kejaksaan Agung gagal membawa lembaga ini ke garis depan penegakan hukum.
Catatan Indonesia Corruption Watch menguatkan tak moncernya Kejaksaan dalam penegakan hukum. Lembaga pemantau korupsi ini menyatakan tingkat keberhasilan kejaksaan dalam menuntut terdakwa korupsi hingga divonis hakim hanya 60 persen. Ini kalah jauh dari KPK yang tingkat keberhasilannya di atas 90 persen. Banyak kasus korupsi di kejaksaan tak tuntas penanganannya.
Hasil survei oleh sejumlah lembaga kredibel juga menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap kejaksaan hanya pada angka 70-an persen, kalah jauh dari KPK yang mencapai hampir 90 persen. Kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan sungguh rendah. Perkara Chuck dan Ngalimun bisa digunakan untuk menunjukkan keseriusan Prasetyo dan Kejaksaan meningkatkan kinerjanya.