TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia membutuhkan sesuatu yang baru untuk menggerakkan perekonomian dalam lima tahun ke depan. Sebab, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 persen dinilai tidak cukup mencapai tujuan pembangunan seperti pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran.
Simak: Alasan Bappenas Sebut Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini
"Kalau tidak ada kebijakan baru, akan bahaya karena pertumbuhan ekonomi ke depan bisa lebih rendah dari 5 persen," kata Bambang dalam acara peluncuran buku Policies to Support the Development of Indonesia's Manufacturing Sector during 2020-2024 bersama Asian Development Bank (ADB) di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Sebelumnya pada Rabu, 6 Februari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2018 mencapai 5,17 persen, jauh lebih rendah dibanding target di APBN yang sebesar 5,4 persen. Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,07 persen, tak jua mencapai target sebesar 5,2 persen. Sehingga, capaian dua tahun terakhir ini masih jauh dari ambisi Presiden Joko Widodo alias Jokowi saat Pemilu Presiden 2014 yaitu sebesar 7 persen.
Banyak faktor yang menyebabkan ekonomi tumbuh tak sesuai harapan salah satunya ekspor yang hanya tumbuh 6,48 persen, dihimpit oleh impor yang melaju 12,04 persen.
Sementara Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong juga mengaku kecewa dengan realisasi investasi sepanjang 2018 yang hanya tumbuh 4 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 10 persen.
"Itu salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara total di bawah keinginan kami," kata Thomas.
Lebih lanjut, sesuatu yang baru yang dimaksud Bambang adalah penguatan industri manufaktur atau pengolahan di Indonesia. Selama ini, kata Bambang, ekonomi Indonesia terlalu fokus pada komoditas seperti batu bara dan minyak sawit mentah. Sementara peningkatan kapasitas manufaktur dan tenaga kerja terampil tak banyak menunjukkan progres. Walhasil, ketika harga komoditas anjlok, kata Bambang, Indonesia tak punya lagi bahan bakar untuk menggerakkan ekonominya.
Kondisi ini tercermin dari angka pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia. Sebelum krisis ekonomi 1998, manufaktur tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Lalu keduanya sama-sama anjlok di tahun 1998. Setelah itu, manufaktur masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi hingga 2005 di awal pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu, barulah kondisinya berbalik dan manufaktur tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, kata Bambang, pemerintah sudah mulai mempercepat sejumlah kebijakan demi mengisi "bahan bakar" dari sektor manufaktur ini. Pertama yaitu merevitalisasi industri manufaktur dalam negeri hingga memperbanyak tenaga kerja terampil untuk kebutuhan industri. Dari catatan Bappenas, 90,45 persen tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia adalah tenaga kerja dengan kemampuan yang rendah alias low-skilled labor.
Directorate-General of Southeast Asia Department ADB Ramesh Subramaniam juga mengungkapkan bahwa Indonesia harus melakukan diversifkasi terhadap sumber pertumbuhan ekonomi. Ia mencontohkan bagaimana ekspor Indonesia didominasi oleh produk alam uang belum diproses alias mentah. Kalaupun ada ekspor barang manufaktur, kompleksitasnya pun masih rendah dibandingkan produk dari negara-negara maju. "Indonesia harus mengubah ini," kata dia.