TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan sketsa hitam putih yang memotret kehidupan buruh, petani, dan korban gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) memenuhi ruang pamer di Galeri Lorong Bantul, Yogyakarta. Seniman Tohjaya Tono menyuguhkan karya sketsa hasil dari perjalanannya ke sejumlah daerah bencana di Indonesia.
Pameran berlangsung pada 27 Maret sampai 3 April 2019. Selain pameran, Tohjaya Tono juga meluncurkan buku berjudul The Days Without Frida. Tengoklah sketsa hitam putih berupa ibu dan anak yang tidur di tenda pengungsian. Rumah mereka hancur menjadi puing-puing pada 29 Juli 2018.
Baca: PVMBG: Ada Hubungan Gempa Lombok dan Letusan Gunung Agung
Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter itu merenggut nyawa 563 orang. "Sketsa saya merekam bagaimana kalangan marjinal bertahan hidup," kata Tohjaya Tono. Sketsa lainnya bicara tentang seorang yang berdiri di antara reruntuhan bangunan. Orang tersebut dilukis dengan tubuh berwarna hitam pekat. Bangunan yang hancur menjulang di sana sini.
Karya lainnya memotret tentang kehidupan buruh tani. Dua petani perempuan sedang bekerja di sawah. Seekor burung terbang di antara tubuh perempuan itu. Keduanya adalah petani Kulon Progo yang lahan mereka tergusur karena proyek pembangunan Bandar Udara Internasional.
Tohjaya Tono melengkapi sketsanya dengan coretan-coretan untuk menarasikannya. Narasi itu seperti catatan harian ketika dia bertandang ke sana. Misalnya dalam karya tentang dua perempuan petani ini dia menulis 'kanggo panguripan butuh lahan pangan' yang artinya untuk kehidupan butuh lahan pangan.
Pameran seniman Tohjaya Tono di Galeri Lorong, Bantul, Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Kehidupan buruh-buruh di perkebunan tebu, pesisir pantai juga dia gambar dalam warna hitam putih. Dia memotret perahu-perahu, nelayan yang sedang menebar jala, dan nelayan perempuan yang menjajakan ikan.
Semua sketsa hitam putih itu merupakan memori Tohjaya Tono ketika datang ke tempat-tempat yang menampung orang-orang pinggiran atau buruh-buruh. Dia menggambar langsung pada kertasnya. "Saya melihat bagaimana kehidupan mereka mulai dari cara mereka makan dan bekerja," kata Tohjaya Tono.
Ia melebur bersama kehidupan buruh-buruh itu untuk mengetahui kehidupan mereka lebih dekat. Misalnya dia melihat di lingkungan tempat tinggalnya di Donotirto, Bantul. Setiap hari ia mengamati buruh pabrik gula Madukismo yang lalu lalang bekerja. Mereka datang dari berbagai daerah, misalnya Jepara dan tinggal bersama penduduk di perkampungan Madukismo.
Tohjaya Tono dikenal sebagai perupa yang banyak mengeksplorasi tema buruh. Dia pernah memamerkan karya bertema buruh migran di Hongkong pada 2011.
Pameran seniman Tohjaya Tono di Galeri Lorong, Bantul, Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
Dua perupa kondang yang karya-karya seninya banyak beredar di pasar seni rupa, Agung Kurniawan dan Ugo Untoro datang pada pembukaan pameran tersebut. Agung Kurniawan melihat sketsa Tono sebagai karya yang memiliki ruh atau jiwa karena berangkat dari realitas. Tohjaya Tono berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk melihat langsung kehidupan subyek dalam karyanya. "Dia tidak hanya berkarya di studio seperti kebanyakan perupa sekarang," kata Agung.
Ugo Untoro memandang karya Tohjaya Tono sebagai penyegaran. Menurut dia jarang ada seniman yang membuat karya ringan seperti Tohjaya Tono dengan tema yang kuat. "Biasanya karya seniman sok berat. Karya ini memunculkan kemungkinan bagaimana seni lukis dua dimensi masih punya daya inspirasi," kata Ugo.