TEMPO.CO, Bogor - Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian menggandeng International Rice Research (IRRI) mengembangkan varietas padi yang dapat disesuaikan dengan karakteristik cuaca dan geograsifis masing-masing daerah di Indonesia.
"Tahun ini saja kita membuka lahan sekitar 545 ribu hektar di wilatah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi untuk ditanam pagi," kata Kepala Balitbang Pertanian, Dr Fadjry Djufry saatmembuka kantor baru IRRI Indonesia di Jalan Merdeka, Kota Bogor, Kamis, 4 April 2019
Dia mengatakan, luas lahan 500 ribu hektar untuk ditanam padi ini tersebar di Sumatera Selatan seluas 250 ribu hektar, di Kalimantan Selatan dengan luas 250 ribu hektar, dan di Sulawesi 45 ribu hektar.
"Pembukaan lahan ini semua harus kita support bukan hanya penggunaan teknologi akan tetapi juga menggunakan bibit varietas padi unggul sesuai dengan karakteristik wilayah," kata dia.
Menurut dia, lahan di Sumatera dan Kalimantan adalah rawa, maka bibit yang digunakan harus tahan rendaman air. "Kita akan menggunakan bibit padi varietas yang tahan akan lahan rawa dan pasang surut air (Impara)," kata dia.
Dia mengatakan, Litbang Pertanian dan IRRI Indonesia pun sudah menemukan varietas padi Impara yang cocok untuk ditanam di lokasi tersebut.
Tingkat keasaman (pH) tanah (<4) dl lahan yang baru dibuka menunjukkan bahwa tanah sangat masam dan kandungan Fe2+ cukup tinggi (300 - 400 ppm).
Dia mengatakan, dengan dibukanya kantor baru IRRI Indonesia ini diharapkan dapat meningkatkan kerja sama yang sudah terjalin sejak 1972.
"Sudah banyak varietas unggul yang dihasilkan dengan tetuanya dari IRRI. Contohnya Ciherang, Green Super Rice (GSR), Inpari 42, Inpari 43 dan lainnya," tuturnya.
Ke depannya, beragam varietas padi unggulan bisa dihasilkan Indonesia terutama untuk lahan pasang surut/rawa.
Diakui Fadjry, Indonesia memang sudah memiliki varietas dengan kriteria tersebut, namun produktivitasnya hanya sekitar 6-7 ton/ha. "Kita inginkan lebih tinggi lagi. Lebih dari 10 ton/ha," katanya.
Dirjen IRRI, Dr. Matthew Morell menuturkan dalam beberapa tahun terakhir, berbagai tantangan pemenuhan pangan khususnya beras terus bermunculan. "Salah satunya adalah menurunnya sumberdaya air, kekurangan tenaga kerja, perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan populasi dan dampak perubahan iklim," kata dia.
Khusus Indonesia membutuhkan 38 persen lebih banyak beras dalam 25 tahun mendatang yang berarti hasil rata-rata 5,1 ton per hektar harus naik menjadi lebih dari 6 ton per hektar.
"Inilah tantangan yang akan kita kolaborasikan bersama dengan Indonesia, melalui IRRI Indonesia Representative Office," tutur Morell.