TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuntut pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dengan bentuk apapun untuk dihapuskan.
“Masih memuat aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara dalam keterangan tertulis Kamis 29 Agustus 2019.
Menurut Anggara dari draft versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden".
Menurut Anggara, hal ini merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. ICJR menilai perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia.
Pasal 218-220 soal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden serupa dengan Pasal 134 dan 137 di KUHP tentang penghinaan terhadap presiden.
“Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan terhadap presiden adalah warisan kolonial Belanda,” kata Anggara.
Menurut Anggara pasal ini tidak sesuai dengan negara demokratis. Pasalnya, kata dia, KUHP warisan Belanda dulu merumuskan pasal ini untuk melindungi martabat ratu. Sedangkan presiden, kata dia, dipilih oleh rakyat yang harus bisa menerima kritik.
Selain itu pasal penghinaan presiden ini bisa mengurangi kebebasan berekspresi, dan tak sesuai dengan Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945. “Mahkamah Konstitusi menyatakan sudah tidak relevan,” kata dia.