TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Halisa Halid menilai pemerintah lambat merespon kasus kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan atau karhutla di Kalimantan dan Sumatera.
"Negara responnya sangat lambat, korban berjatuhan, ada bayi berumur empat bulan meninggal, ini membuat kita syok, seakan-akan negara lambat," ujar Halisa di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Senin, 16 September 2019.
Atas terlambatnya respon pemerintah terdapat kasus asap tersebut. Walhi dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi, khususnya kepada Kementerian KLHK, atau lembaga yang diperintahkan untuk menangani kebakaran ini seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Dalam surat tersebut ditulis bahwa sepanjang 2019 hingga 7 September, setidaknya tercatat 19.000 lebih titik api. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, terdapat 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektare.
"Ada beberapa desakan, mulai dari desakan dalam konteks tanggap darurat, juga terkait persoalan perizinan yang menjadi akar masalah yang tidak bisa dipulihkan," kata Halisa.
Menurut Halisa, peristiwa mungkin tidak terjadi kalau saja presiden mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan pemerintah atau negara bersalah. Saat itu dalam gugatan citizen law suit (CLS) atau gugatan warga negara dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015.
Bukannya mematuhi atau menjalankan putusan MA, kata Halisa, negara justru lebih memilih mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan tersebut. "Ini buat kami sangat ironi karena putusan MA sesungguhnya dalam kerangka untuk menjamin kehidupan keselamatan warga negara. Dan bagian upaya pencegahan agar tidak terjadi lagi," tutur Halisa.
Nisa Anisa dari Solidaritas Perempuan memiliki pendapat yang sama bahwa pemerintah merespon kasus asap cukup lambat. Menurutnya, banyak korban akibat dari bencana ini, penyakit ispa dan muntaber juga dialami oleh perempuan dan anak-anak di sana.
Bahkan, kata Nisa, ada 20 perempuan hamil di Desa Hanjat Maju Kecamatan Kahayang Hilir Kabupaten Pulang Pisau, Mereka dalam keadaan hamil dan sulit akses keluar. Mereka berada di desa terpencil yang sulit mengakses kota dan tidak memiliki informasi apapun tentang apa yang harus mereka lakukan.
"Desa yang kita soroti memang desa yang tidak ada puskesmas, fasilitas kesehatan dan masih banyak masyarakat yang ada di daerah pelosok. Awal terjadi bencana pun masker sulit didapat, mereka sesak bernapas, respon pemerintah sangat lambat," kata Nisa.
Nisa juga mempertanyakan tanggung jawab dari pemerintah. Selain itu, ada beberapa desakan yang diharapkan seperti adanya sistem respon cepat dalam penangan kebakaran lahan. "Kita lihat ini sudah berkali-kali terjadi dan berjatuhan korban, bagaimana itu respon pemerintah?" tutur Nisa.
Nisa dan Halisa berharap pemerintah bergerak cepat dan harus memikirkan evakuasi di mana tepat yang aman dari kabut asap. Selain fasilitas kesehatan, perlu juga dipikirkan pasca peristiwa, seperti trauma mental ataupun fisik yang perlu dipulihkan.