TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai tim perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat gagal mengevaluasi KUHP lama warisan Belanda. Karena masih banyaknya pasal picisan di RKUHP.
Pasal-pasal receh yang dimaksud adalah pasal gelandangan, pasal pemberian alkohol kepada orang mabuk, dan pasal tentang peliharaan yang masuk pekarangan. “Jadi itu warisan Belanda. di KUHP sebelumnya sudah ada tapi dimodifikasi sedikit di RKUHP dan dia dimasukkan lagi,” ujar Meidina di kantor Indonesian Corruption Watch, Kalibata Timur, Jakarta, Jumat 20 September 2019.
Meidina menilai hal ini bisa sampai terjadi karena proses perumusan RKUHP tak berbasis evaluasi. Ia menilai hal ini tak sejalan dengan semangat yang digembar-gemborkan soal rekodifikasi, karena perumus gagal memilah pasal mana yang seharusnya hadir lagi di RKUHP dan yang tidak.
Pasal gelandangan misalnya. Menurut Meidina persoalan ini sudah lama berkembang di hukum Indonesia. Saat ini, kata dia, peraturan soal gelandangan sudah diatur di tataran pemerintah daerah.
Peraturan gelandangan, bisa jadi berbeda di tiap wilayah administratif. DKI Jakarta, contohnya, mengatur gelandangan dalam Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial. Tertulis di situ, gelandangan berhak mendapatkan fasilitas rehabilitasi, di panti rehabilitasi.
“Perumusan RKUHP gagal mengambil peran evaluasi, dinamika yang terjadi di hukum Indonesia dan masuk lah perumusan itu ke RKUHP tanpa adanya evaluasi,” ucap Meidina.
Medio September 2019 ini, DPR menyatakan telah menyelesaikan Rancangan Revisi UU KUHP. RUU KUHP itu kini tinggal memberi penjelasan pasal per pasal.
FIKRI ARIGI