TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kooridinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengkritik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal imbal hasil atau yield obligasi negara Indonesia yang dinilainya terlalu tinggi. Menurut Rizal, imbal hasil yang tinggi itu merugikan rakyat.
"Ini kinerja Menkeu “Terbalik”, semakin banyak meminjam dengan yield paling tinggi ! Menkeu “Terbalik” bekerja untuk kreditor, merugikan rakyat dan bangsa Indonesia. Cc. @Jokowi," kata Rizal Ramli di akun Twitter-nya @RamliRizal, Selasa, 15 Januari 2020.
Hal itu dia sampaikan sambil mengunggah infografis yang dibuat Bisnis Indonesia. Dalam infografis itu tertulis imbal hasil atau yield obligasi Indonesia paling tinggi di Asia dengan angka 6,93 persen.
Dalam unggahan itu tertulis pasar obligasi masih berpeluang menguat sehingga membuat yield SUN tenor 10 tahun bertahan di bawah 7 persen. Sejumlah negara tetangga menawarkan yield obligasi negara di bawah Indonesia tercatat seperti Filipina 4,68 persen, Malaysia 3,28 persen dan Vietnam 3,11 persen.
Sebelumnya juga dalam akun Twitter, Rizal Ramli merespons ihwal pemerintah yang langsung tancap gas menarik utang pada awal 2020. "Tak tangung-tanggung, jumlahnya mencapai Rp 63,3 triliun. (!!!Alasan Rp menguat terhadap $). Penguatan Rupiah hasil ‘doping’ pinjaman. Utang lagi, utang lagi cerdasan dikit kek," tulis dia, Senin, 13 Januari 2020.
Baca Juga:
Padahal, menurut Rizal Ramli, ada banyak cara untuk mengurangi utang. Pertama debt-swap dengan bonds lebih murah dan tenor panjang dengan memanfaatkan momen yield negatif.
Kedua, Debt-to-Nature Swap yaitu mengurangi utang dengan konservasi. Ketiga, dengan cara asset securitization. Keempat, menaikkan tax ratio yang terendah 20 tahun. Kelima, meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Ke 5 langkah itu pernah dilakukan RR(Rizal Ramli) 2000-2001: Utang berkurang $4,5 milyar, tax ratio naik 11,5 persen, export naik 2x, ekonomi bangkit dari -3 persen jadi +4,5 persen, gaji PNS & ABRI naik 125 persen dalam 21 bulan. Pompa daya beli yang bawah, retail hidup, GINI Index terendah. Key:inovasi & berpihak," kata Rizal Ramli.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada 9 Januari 2020 sebelumnya mencatat kepemilikan asing dalam instrumen surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 1.071,9 triliun atau 38,8 persen dari total outstanding yakni Rp 2.762,74 triliun. Secara tahun berjalan, dana asing yang masuk ke SBN sebesar Rp 10,04 triliun dari Rp 1.061,86 triliun pada akhir Desember 2019.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada 9 Januari 2020 sebelumnya mencatat kepemilikan asing dalam instrumen surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 1.071,9 triliun atau 38,8 persen dari total outstanding yakni Rp 2.762,74 triliun. Secara tahun berjalan, dana asing yang masuk ke SBN sebesar Rp 10,04 triliun dari Rp 1.061,86 triliun pada akhir Desember 2019.
Kepala Riset Infovesta Utama, Wawan Hendrayana sebelumnya menilai prospek surat utang RI pada 2020 masih potensial dan menarik minat investor asing. Setidaknya ada empat alasan yang membuat investor asing mengincar obligasi negara RI.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi, yakni di kisaran 5 persen. Kedua, penurunan suku bunga acuan masih terbuka pada tahun dengan bobot total hingga 50 basis poin melalui dua kali pemangkasan.
Ketiga, kondisi politik relatif stabil. Keempat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung stabil.
BISNIS