TEMPO.CO, Jakarta - Cina membutuhkan hingga 60 juta lembar masker per hari selama virus corona misterius mewabah di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu. Sejak merebak pada akhir Desember lalu, virus yang menyebabkan radang paru-paru (pneumonia) itu telah menginfeksi lebih dari 1300 orang di Cina daratan dan menyebabkan 41 orang--sebanyak 38 di antaranya di Wuhan--meninggal per Sabtu 25 Januari 2020.
"Kebutuhan masker 50-60 juta masker per hari, sementara pasokannya masih sekitar 20 juta," kata General Manager Lanhine Corp., Cao Jun, dikutip media resmi setempat, Sabtu 25 Januari 2020.
Lanhine merupakan perusahaan yang menyediakan masker dan peralatan perlindungan wajah yang berkantor pusat di Provinsi Zhejiang. Kurangnya pasokan menyebabkan masyarakat China sangat membutuhkan masker impor, terutama yang berstandar N95 yang biasa digunakan oleh petugas bedah medis.
Analis bisnis di Global Times berpendapat bahwa wabah virus yang sekarang terjadi memberi momen bagi produsen masker dalam negeri untuk meningkatkan kepercayaan konsumennya. Tak heran kalau Lanhine pun memanggil para karyawannya yang sudah bersiap mudik Tahun Baru Imlek untuk bekerja kembali insentif upah empat kali lipat dari hari biasa.
Menurut Cao, perusahaannya telah menerima pesanan 100 juta masker. Pesanan itu dijawab dengan meningkatkan kapasitas produksi selama musim libur Imlek ini menjadi 400 ribu helai per hari. Itu pun semuanya telah dikirimkan ke sejumlah rumah sakit.
Permintaan di pasaran umum juga melonjak tajam, terutama untuk merek 3M dan Honeywell. Lonjakan permintaan masker ini persis saat wabah SARS terjadi di negeri itu pada 2003, wabah flu burung 2009, dan polusi udara terparah di Cina pada 2013-2014.
3M merupakan produk Amerika Serikat yang sangat populer di China. Bahkan platform e-dagang Taobao dan JD.com kewalahan memenuhi permintaan konsumen.
Harganya pun naik 3 yuan menjadi 40 yuan (Rp 80 ribu) per helai. Padahal Alibaba Group selaku pengelola Taobao sudah meminta kliennya untuk tidak menaikkan harga jual masker.