TEMPO.CO, Den Haag - Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok menyatakan negaranya tidak mendukung pelarangan impor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke Eropa. Meski begitu, Stef menegaskan, agar persoalan ini tidak berlarut-larut, minyak kelapa sawit Indonesia harus diproduksi secara berkelanjutan.
“Saya yakin produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan satu-satunya cara untuk mengatasi perselisihan ini,” ujar dia di Den Haag, Selasa waktu setempat, 18 Februari 2020.
Tahun lalu, Uni Eropa mengesahkan proposal energi yang menghapus pemakaian minyak nabati atau biofuel yang bersumber dari kelapa sawit. Kebijakan ini memukul ekspor kelapa sawit Indonesia yang selama ini menyasar pasar Eropa. Indonesia pun resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO pada 9 Desember 2019.
WTO kini tengah mencari jalan keluar atas perselisihan dagang tersebut. Proses penyelesaian sengketa ini, menurut Stef Blok, masih berlangsung. “Saya sangat menyesalkan hal ini terjadi,” ucap Stef.
Dia mengakui banyak masyarakat Indonesia, terutama para petani kecil, yang terpukul dan sangat bergantung pada perkebunan sawit. Karena itu, Belanda dan Indonesia beberapa kali membahas permasalahan ini.
Salah satu hasil dari pertemuan itu adalah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang produksi bersama minyak sawit nabati (joint production on sustainable palm oil) pada 27 September 2019. “MoU itu untuk mempromosikan produksi minyak sawit yang berkelanjutan, sekaligus memberikan manfaat bagi petani kecil di Indonesia,” ujar Stef.
Stef juga yakin produksi CPO yang berkelanjutan itu akan mudah diterima konsumen di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Mereka ingin mengkonsumsi kelapa sawit yang diproduksi dengan cara berkelanjutan.
Kepala Misi Ekonomi dan Perdagangan Belanda Hans de Boer mengatakan negaranya selalu mendukung perdagangan bebas antara Indonesia dan Uni Eropa. Hans percaya perdagangan bebas akan membawa kesejahteraan buat negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. “Meski saya juga melihat ada tendensi nasionalisme yang menguat di sejumlah negara Eropa,” kata Hans.
Januari lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan tudingan Uni Eropa yang menilai produk sawit Indonesia tidak ramah lingkungan tidak beralasan. Menurut Jokowi, tuduhan itu tidak lain hanya buah dari persaingan bisnis antarnegara karena Eropa lebih banyak memproduksi minyak biji bunga matahari.
"Uni Eropa memunculkan isu bahwa CPO tidak ramah lingkungan. Saya kira, isu ini hanya soal perang bisnis antarnegara. CPO ini bisa lebih murah dari minyak bunga matahari yang mereka hasilkan," kata Jokowi melalui akun Instagram, 11 Januari lalu.
Jokowi mengatakan Indonesia bisa memproduksi 46 juta ton minyak sawit per tahun. Untuk melawan diskriminasi tersebut, Jokowi berkeinginan untuk mengubah pola pikir yang sebelumnya hanya mengandalkan ekspor komoditas dari bahan mentah menjadi produk yang memiliki nilai tambah.
EKO WAHYUDI