TEMPO.CO, Jakarta - Empat hari berlalu setelah kepergian Ashraf Sinclair untuk selamanya, Bunga Citra Lestari atau BCL berziarah ke makam di San Diego Hills pada Jumat, 21 Februari 2020. BCL yang mengenakan kerudung datang bersama sang anak, Noah Sinclair, ditemani beberapa orang keluarganya. Dari tayangan video di YouTube Beepdo, BCL dan Noah tampak duduk di kursi, sesekali berpelukan untuk saling menguatkan.
Kepergian Ashraf Sinclair yang mendadak menyisakan luka yang mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan, terutama sang istri yang sudah hidup bersama selama 11 tahun, dan anaknya. Beberapa teman yang menjenguk mengatakan kondisi BCL sudah lebih baik. Sesekali dia bisa tersenyum. Begitupun Noah yang bisa tertawa ketika bermain bersama sepupu dan teman-temannya.
Psikolog keluarga Sani Budiantini Hermawan mengatakan, kondisi mental BCL bisa jadi lebih berat mengingat kepergian Ashraf yang mendadak, tanpa tanda-tanda. Itu yang membuat ia lebih sulit melupakan kesedihan.
“Secara teori, peristiwa mengejutkan, mendadak, tidak disangka-sangka, akan jauh lebih berat dibandingkan dengan yang sudah diprediksi. Jauh lebih shock. Bahkan bisa PTSD (post-traumatic stress disorder) setelah beberapa bulan,” ujar Sani kepada Tempo.co, Jumat, 21 Februari 2020.
PTSD merupakan gangguan psikologis yang disebabkan oleh kejadian mengejutkan. Gangguan ini meliputi aspek pikiran, emosi, perilaku, hingga mood. Sebenarnya kondisi ini tidak hanya terjadi pada seseorang yang ditinggal pasangan seperti BCL, tapi kejadian-kejadian tak disangka seperti guncangan di pesawat atau sesak yang tiba-tiba muncul setelah makan pun bisa memicu PTSD.
Itu sebabnya, BCL membutuhkan support system yang kuat dari keluarga maupun teman-temannya untuk menghindari gangguan psikologis yang lebih berat.
Namun, kata Sani, reaksi setiap orang akan berbeda pada peristiwa yang sama, dipengaruhi oleh kekuatan individu. Orang yang cukup kuat secara spiritual atau memahami kehidupan biasanya lebih kuat dan lebih mudah.
“Jadi tergantung kekuatan masing-masing. Tiga bulan pertama pasti lebih berat. Tiga bulan kedua bisa bangkit. Tapi kalau getting worse, perlu bantuan profesional untuk diberi obat-obatan dan psikolog untuk melalui masa grieving,” kata psikolog dari lembaga Psikologi Daya Insani ini.
Kondisi mental Noah mungkin sama beratnya. Sani mengatakan, anak berusia 9 tahun seperti Noah umumnya sudah memahami kematian. Namun, anak-anak biasanya lebih mudah dialihkan dengan permainan atau kedatangan teman-temannya. Ditambah lagi, peristiwa kehidupan ayahnya dengan dia tak selama dengan ibunya.
“Tapi tetap saja ada rasa sedih, lonely, dan kangen,” ujar Sani.
Cara mengatasinya, kata Sani, anak sebaiknya sering diajak bertemu dengan teman atau sepupunya, buat acara-acara doa bersama dan diberi pemahaman yang tepat tentang kematian agar dia tidak takut.
“Kalau dia menangis biarkan saja, jangan ditahan,” kata dia.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan menanyakan peristiwa itu berulang-ulang karena itu akan membuat keluarga yang ditinggalkan semakin sedih. “Jangan ditanya, tunggu sampai dia ngomong sendiri jika dia mau,” kata Sani.