TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK segera mengusut proses pemberian izin ekspor benih lobster oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada 30 perusahaan eksportir. Izin ini diduga berkaitan dengan konflik kepentingan lantaran terdapat sejumlah nama politikus sebagai pejabat perusahaan tersebut.
“KPK juga harus menghentikan kegiatan ekspor benih lobster setidaknya untuk sementara sambil menunggu hasil kajian yang dilakukan Tim KPK,” ujar Boyamin dalam keterangannya, Senin, 6 Juli 2020.
Ekspor benih lobster kembali dibuka melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020. Peraturan ini menganulir beleid sebelumnya yang dirancang Menteri KKP periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti tentang larangan ekspor benur.
Boyamin menilai, semestinya izin ekspor bayi lobster tidak pernah dibuka karena merugikan nelayan. Musababnya, nelayan akan memperoleh nilai beli sangat kecil dan kegiatan ini hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu dan pemodal skala besar.
“Jika terpaksa izin ekspor benih lobster, harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan perusahaan yang di daerah sehingga akan merata,” katanya. Ia mengimbuhkan, KPK harus memperlakukan kasus ekspor lobster seperti kajian Kartu Prakerja yang untuk sementara disetop untuk kajian mendalam.
Apabila izin tersebut tidak dihentikan, Boyamin menyebut bakal membawa kasus ini kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Perkara itu akan dilaporkan dalam bentuk dugaan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Dikonfirmasi terkait usulan ini, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, belum memberikan komentarnya. Sedangkan Juru Bicara KPPU, Guntur Saragih, menyatakan pihaknya masih akan mengecek laporan dari MAKI. “Namun belum ada penyelidikan,” tuturnya.
Dalam kegiatan pembukaan ekspor benih lobster, KKP telah memberikan izin kepada 30 perusahaan yang terdiri atas 25 perseroan terbatas atau PT, tiga persekutuan komanditer alias CV, dan dua perusahaan berbentuk usaha dagang atau UD. Penelusuran Tempo menemukan 25 perusahaan itu baru dibentuk dalam waktu 2-3 bulan ke belakang berdasarkan akta.
Di samping itu, sejumlah kader partai diduga menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan ini. Di PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama.
Bahtiar merupakan Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, underbow Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra. Tiga eksportir lainnya juga terafiliasi dengan partai yang sama. Ada pula nama Fahri Hamzah, mantan Wakil Ketua DPR, sebagai pemegang saham salah satu perusahaan dan nama lain dari Partai Golkar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjamin penetapan eksportir benih lobster, termasuk yang berkaitan dengan politikus, telah melalui prosedur yang baku, tanpa keistimewaan. “Semua proses kan ada panitianya. Saya minta siapa saja wajib dilayani,” ujarnya ketika dihubungi Tempo, Jumat malam, 3 Juli lalu. “Semua yang diberi izin itu yang sudah menyiapkan budi dayanya.”
MAJALAH TEMPO