TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia mengklaim emisi karbon di Indonesia terkendali dan angka deforestasi berada di tingkat terendah dalam 20 tahun. Padahal, berdasarkan laporan Climate Tranparency 2021, upaya pemerintah mengurangi emisi masih rendah, terutama lantaran PLTU batu bara masih mendominasi sumber energi.
Laporan Climate Tranparency 2021 menilai target Nationally Determined Contribution Indonesia tidak memadai untuk memenuhi perjanjian Paris.
Manager Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR) Lisa Wijayani, menilai pemerintah harus merancang sasaran penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca yang lebih ambisius.
Sebab, Indonesia bakal menghadapi risiko lonjakan emisi karbon, melampui masa sebelum pandemi Covid-19. "Setelah pandemi mulai mereda, aktivitas ekonomi kembali pulih dan emisi pun meningkat. Tahun lalu, emisi berkurang karena ada pembatasan sosial," ujar Lisa seperti dikutip dari Koran Tempo pada Senin, 1 November 2021.
Lisa membeberkan, emisi gas rumah kaca di Indonesia disumbangkan sektor energi yakni sebesar 35 persen dan sektor industri serta transportasi masing-masing 27 persen.
Lisa mengingatkan bahwa Perjanjian Paris yang disepakati pada 2015 bertujuan menahan kenaikan suhu dunia tak lebih dari 1,5 derajat celcius pada 2100. Sedangkan Indonesia, pada April 2021 lalu, menargetkan pengurangan emisi hingga 29 persen dengan usaha sendiri, serta 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan Indonesia memiliki komitmen yang jelas dan konsisten dalam menangani perubahan iklim. Ia menyebut jika kebakaran hutan di Indonesia telah berkurang 82 persen.
Selain itu, Indonesia juga telah menargetkan net sink karbon untuk sektor lahan dan hutan, selambat-lambatnya pada 2030 serta target netral karbon pada 2060.
ANDITA RAHMA | KORAN TEMPO
Tulisan lengkapnya bisa dibaca di Koran Tempo edisi hari ini Senin 1 November 2021: Ambisi Halau Emisi