TEMPO.CO, Jakarta - Tagar #YogyaTidakAman, #YogyaDaruratKlitih, hingga #SriSultanDaruratKlitih ramai diperbincangkan warganet Twitter pada Selasa, 28 Desember 2021. Tagar ini menjadi trending setelah seorang perempuan menceritakan kisahnya saat menjadi korban klitih. Tak sedikit warganet yang mengecam tindakan kejahatan klitih tersebut.
Seperti diketahui, aksi klitih bukan kali pertama terjadi. Berdasarkan catatan Jogja Police Watch (JPW), sepanjang tahun 2018 hingga 2020, kasus kejahatan jalanan atau klitih masih menjadi dominan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mulanya istilah “klitih” tidak merujuk pada suatu hal yang negatif. Dalam bahasa Jawa, klitih atau “nglithih” diartikan sebagai suatu aktivitas keluyuran atau mencari angin di luar rumah.
Pemaknaan itu saat ini sudah tidak lagi relevan. Kini, istilah klitih dimaknai sebagai aksi kekerasan jalanan yang dilakukan oleh remaja menggunakan benda-benda tajam untuk melukai sampai menyebabkan hilangnya nyawa korban.
"Klitih itu sebenarnya adalah kegiatan mengisi waktu luang secara positif, tetapi ketika diadopsi oleh remaja, mereka menggeser mana kata tersebut," ucap Soeprapto dalam UGM Podcast oleh Humas UGM pada 15 Januari 2020.
Usut punya usut, keberadaan klitih yang kian meresahkan tersebut diduga berawal dari banyaknya kelompok atau geng-geng remaja sekolah. Hal ini didukung hasil tesis Dosen Antropologi Universitas Brawijaya, Hatib Abdul Kadir, menyoal keberadaan geng-geng pelajar di Yogyakarta.
Geng-geng pelajar di Yogyakarta ini pernah melakukan aksi tawuran pada 90-an. Pada 2000-an, Kepolisian Wilayah DIY berhasil memetakan keberadaan geng-geng remaja tersebut.
Pada 2007, Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto, melayangkan instruksi kepada sekolah-sekolah, jika ada pelajar yang terlibat tawuran akan dikeluarkan.
Di sisi lain, menurut pakar kriminolog Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, alih-alih meredam aksi, instruksi tersebut membatasi ruang gerak geng pelajar untuk mencari musuh, hingga akhirnya berpindah ke jalanan (klitih).
“Lantaran dilarang tawuran, geng-geng itu kemudian justru berkeliling di jalanan kota secara acak untuk mencari musuh. Lambat laun, kegiatan ini ditunggangi oleh segelintir pihak tidak bertanggung jawab yang memiliki motif beragam,” ujar Soeprapto dikutip dari kagama.co.
Soeprapto menambahkan, struktur organisasi klitih selama ini kian berkembang. Tak hanya di sekitar Kota Yogyakarta, melainkan di beberapa wilayah lain, seperti Sleman dan Bantul. Pun korbannya tidak bisa diidentifikasi karena bersifat random.
HARIS SETYAWAN
Baca juga: DI Yogyakarta Didesak Alokasikan Anggaran Tangani Aksi Klitih