Hariyadi mengungkapkan, perbedaan perhitungan pajak ini terjadi pada besaran denda yang harus dibayarkan oleh perusahaan karena keterlambatan, dan bukannya pada besaran pokok pajak. "Kalau pokok pajak sudah lunas," katanya. Menurut catatan perusahaan, lanjutnya, Hotel Sahid hanya menunggak pembayaran pajak sebesar Rp 928 juta untuk tahun 1999. Sementara pemerintah DKI mengatakan besarnya mencapai Rp 13,26 miliar. Pejabat DKI juga sudah mengumumkan akan melakukan sita paksa atas aset hotel untuk dilelang, jika hingga 1 Juli manajemen Sahid belum melunasi tagihan.
Indro Yuwono, Direktur Keuangan, yang mendampingi Hariyadi menjelaskan bahwa masalah ini bermula pada 1996. Ketika itu denda pajak yang harus dibayar oleh Hotel Sahid seperti tertera dalam catatan manajemen dan pemerintah DKI adalah Rp 381 juta dengan pokok pajak sebesar Rp 6,8 miliar. Hal yang sama juga terjadi pada 1997, ketika besar denda keterlambatan pembayaran pajak, dalam catatan kedua belah pihak, sebesar Rp 531 juta, dengan pokok pajak Rp 6,3 miliar.
Kedua tunggakan itu, lanjut Indro, telah dibayarkan lunas pada 18 Maret 2002. Nanum pada 1998, DKI mengajukan klaim denda bunga mencapai Rp 7,6 miliar. Denda itu menggunakan perhitungan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pajak Daerah. Menanggapi hal ini, manajemen mengirimkan surat yang meminta penghapusan pembayaran denda pada 14 Mei 1999. Menurut peraturan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 26, lanjut dia, jika dalam waktu 12 bulan belum juga ada keputusan, maka keberatan pembayaran itu dianggap diterima. "Sampai serkarang tidak ada tanggapan, berarti yang denda sudah tidak ada lagi," katanya.
Indro menilai saat ini yang menjadi masalah sebenarnya adalah denda keterlambatan pada 1999, yang menurut perusahaan sebesar Rp928 juta sedangkan versi DKI Rp 4,7 miliar. "Saat ini kasusnya sedang banding," katanya. Hariyadi menambahkan pihaknya akan langsung membayar denda itu jika DKI menyetujui besaran yang diajukan manajemen.
Hariyadi menyayangkan pernyataan sejumlah pejabat DKI yang akan melakukan penyitaan hingga pelelangan aset hotel. "Pernyataan itu provokatif dan merugikan kredibilitas kami," katanya. Ia mencontohkan perbedaan pernyataan satu pejabat yang mengatakan besar tunggakan senilai Rp 18 milar, sementara yang lain mengatakan Rp 13,26 miliar. "Kalau mau mengeluarkan pernyataan ya diteliti dulu," imbuhnya. (Budi RizaTempo News Room)