Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) mengusulkan kepada pemerintah untuk menaikkan besaran tarif interkoneksi jaringan lokal. Tambahan tarif yang dikenal sebagai biaya defisit akses (access deficit charge) tersebut dikenakan sebagai kompensasi biaya sambungan lokal yang masih bersubsidi. Namun pemerintah belum mengetahui persis formulasinya, kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Gatot S. Dewa Broto kepada Koran Tempo di Jakarta, Jumat (14/2). Gatot menuturkan dasar pemikiran Telkom mengajukan usulan itu mengacu pada deregulasi interkoneksi yang dianggap kurang adil. Karena Telkom secara tidak langsung memberikan insentif kepada penyelenggara jaringan lain dengan membuka interkoneksi sambungan lokal yang masih bersubsidi. Usulan tersebut, tambah dia, sudah diusulkan Telkom pada 8 Januari lalu, dan pada tanggal 31 Januari Ditjen Postel dan Telkom sudah bertemu untuk membicarakan usulan tersebut. Namun, tuturnya, Telkom belum sampai pada tahap presentasi formulasi tarif interkoneksi yang baru. Dihubungi terpisah Wakil Presiden Tarif dan Interkoneksi Telkom Sarwoto Atmosoetarno membenarkan Telkom telah mengajukan skema tarif interkoneksi yang baru kepada pemerintah. Termasuk dalam usulan tersebut adalah biaya defisit akses. Konsepnya, kata dia, senada dengan Gatot adalah karena biaya tarif lokal yang menjadi objek interkoneksi masih disubsidi oleh Telkom. Kita ingin operator yang melakukan interkoneksi berpartisipasi, ujarnya. Penambahan biaya defisit akses ini, ujar dia, sebenarnya bukanlah hal yang baru sama sekali. Sebab sejak lama diberlakukan dalam perjanjian interkoneksi dengan Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (ITKP). Biaya interkoneksi ITKP jika ingin diurai, kata Sarwoto, terdiri dari Rp 116 komponen pokok dan Rp 124 biaya defisit, sehingga total biaya interkoneksi ITKP sebesar Rp 240 permenit. Biaya defisit akses ini juga telah berlaku untuk interkoneksi antar public switch telephone network (PSTN), misalnya antara Telkom dengan Indosat dan Ratelindo. Namun, ujar dia, karena ketiga penyelenggara menderita kerugian akibat defisit tarif lokal, maka biaya interkoneksi menjadi saling meniadakan. Akibatnya yang trjadi biaya interkoneksi antar penyelenggara PSTN adalah tarif ritel sebesar Rp 114 dibagi dua menjadi Rp 57 permenit. Sehingga yang dikenai tarif interkoneksi yang baru tinggal interkoneksi antara telepon seluler ke PSTN. Saat ini, kata dia, biaya interkoneksi lokal dari seluler sebesar Rp 97,5 permenit. Nantinya setelah ditambah beban defisit akan berubah menjadi Rp 240 permenit, atau sama dengan tarif interkoneksi ITKP dan PSTN. Tarif interkoneksi lokal yang baru ini juga akan berlaku untuk interkoneksi dengan sambungan langsung internasional (SLI). Angka baru untuk seluler dan SLI ini, tutur dia, berlaku jika penyelenggara melakukan interkoneksi akses lokal Jakarta. Sedangkan jika ia ingin meneruskan trafiknya ke kota di luar zona Jakarta, akan dikenai biaya tambahan transit. Besarnya bervariasi tiap zona, zona I Rp 525 permenit, zona 2 Rp 870, dan zona 3 Rp 1170 permenit. Kalau tidak mau dikenakan biaya transit, penyelenggara harus membangun gateway sendiri. Ini namanya unbundling, tegasnya. Mengenai bentuk aturan tarif interkoneksi yang baru, Gatot mengungkapkan, pihaknya masih berhati-hati untuk memilih apakah akan ditetapkan melalui penerbitan sebuah keputusan menteri yang baru atau cukup melalui surat persetujuan dari pemerintah. Jangan terlalu jauh bicara keputusan menteri, kita tidak ingin aturan yang sifatnya bongkar pasang, kata dia. Ditambahkannya, jika nanti Ditjen Postel menyetujui tarif interkoneksi yang baru ini, skema interkoneksi sebelumnya yang berdasarkan terminasi dan originasi masih tetap berlaku. Gatot melanjutkan sebenarnya ada keuntungan dan kerugian jika Telkom menggunakan tarif interkoneksi yang ada. Kerugiannya, kata dia, Telkom akan terus menanggung biaya subsidi. Sebaliknya Telkom diuntungkan karena seakan-akan tetap menjaga iklim monopoli. Artinya, kata dia, jika Telkom masih melakukan subsidi antara tarif lokal dan tarif interlokal, secara tidak langsung Telkom menurunkan tarif lokal di bawah biaya produksi. Akibatnya penyelenggara jaringan lain seperti PT Radio Telepon Indonesia (Ratelindo) yang hanya mempunyai lisensi sambungan lokal terpaksa menjual tinggi di atas harga Telkom karena tidak mampu mencari subsidi dari pendapatan jasa telekomunikasi yang lain. Mengenai kemungkinan Telkom tetap akan menaikkan tarif interkoneksi walaupun kenaikan tarif telepon tahap kedua ini terlaksana, Gatot yakin Telkom tetap akan menaikkan tarif interkoneksi pada tahun ini. Alasannya kenaikan tarif tahap ketiga yang dijadwalkan tahun depan belum tentu dapat terlaksana dengan mudah mengingat kondisi sosial politik yang bakal bergejolak. Adapun Sarwoto berjanji jika tarif telepon jadi dinaikkan tahun ini Telkom akan menghitung kembali besaran tarif yang diajukan. Kita fair-fair saja, ungkapnya. Ia juga yakin dengan kenaikan tarif interkoneksi ini tarif telepon seluler belum tentu otomatis naik. "Nyatanya ada operator yang menurunkan tarif. Tergantung efisiensinya," ujarnya mantap. Membandingkan dengan kondisi di luar negeri, menurut Gatot penambahan biaya interkoneksi ini bukan sesuatu yang aneh. Pola seperti ini biasanya dipakai untuk masa transisi, kata dia. Rancangan keputusan menteri mengenai interkoneksi yang baru, lanjut Gatot diharapkan akan selesai pada pertengahan tahun 2003. Ucok Ritonga --- TNR