TEMPO Interaktif, Makassar - Penari dan pencipta kreasi Tari Pakarena Andi Nurhani Sapada Makkasau meninggal dunia dalam usia 81 tahun di kediamannya di Jalan Hertasning Makassar, sekitar pukul 12.55 Wita siang tadi. Andi Nurhani meninggal diduga karena gangguan jantung dan paru-paru.
“Fungsi ginjal dan paru-paru terganggu. Mungkin juga karena usia, “ kata Andi Ahmad Faisal Sapada, anak kelima almarhumah, di kediamannya kepada Tempo.
Baca Juga:
Faisal mengatakan, sebelum almarhumah menghembuskan nafas terakhirnya, sempat tiga bulan dirawat di Rumah Sakit Wahidin Sudiro Husodo Makassar. Menurut diagnosa dokter, katanya, Nurhani mengalami gangguan fungsi pada jantung dan paru-parunnya.
“Selama tiga bulan kami bolak balik melarikannya ke rumah sakit, “ jelas staf ahli Pemerintah Kota Parepare ini.
Semasa hidup, almarhumah dikenal senagai penari hebat dan pencipta kreasi dari Tari Pakarena dan banyak mendirikan oranisasi, dan berkecimpun di lembaga seni tari sejak 1949. Di usia belia, wanita kelahiran 25 Juni 1929 sudah memperagakan kembali tari tradisi Pattuddu dari daerah Mandar yang sudah lama terkubur di bawah asuhan Ny. Ince Maula Daeng Tarring. Sesudah itu menjadi pembina Tari Pakarena Gowa melalui Anrong Guru Pakarena bapak Parancing di Makassar pada 1951.
Baca Juga:
Sejak itu Tari pakarena asuhan almarhumah dan dukungan para anak-anak dan keluarga, kata Faisal, sangat berkembang. Hingga 12 tahun, katanya, tari tradisional Makassar ini seringkali mengisi acara kesenian kenegaraan di Istana Negara setiap tanggal 17 Agustus. Juga pada acara penyambutan tamu-tamu dari luar negeri di Jakarta, seperti Kim Il Sung dari Korea, Presiden Lubke dari Jerman, Raja Thailand, dan Ratu Sirikit.
Pada 1960, almarhumah mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) di daerah Sidenreng Rappang yang kini sudah tumbuh 17 cabang. “Beliau banyak menciptakan tari-tarian tradisi Sulsel dengan harmoni kecapi dan suling, “ kata Syahrial Tato.
Ada banyak tarian yang diciptakannya. antara lain Tari Padendang (1960), Tari Pattenung (1962), Tari Donda’dondang (1963), Tari Bosara (1961), Tari Pabbekenna Ma’jina (1961) , Tari Tomassenge (1964), Tari Marellau Pammase Dewata (1963) dan Tari Mallatu’Kopi (1965). Dan berapa Fragmen tari, seperti fragmen Sultan Hasanuddin, Fragmen Kartini, Fragmen Pajonga Takalar, Fragmen Kapala Mojong Sidenreng, Fragmen We Tadampali Luwu, dan Fragmen We Siwa-Donna Helena Suppa.
Almarhum meninggalkan delapan anak, 18 cucu dan dua cicit, namun kata Faisal, tidak satupun anak dan cucunya mewarisi kepandaiannya meski dididik menjadi pemain musik dan tari tradisional sejak kecil. “Tidak ada yang seperti beliau, “ ucap Faisal.
Rencananya almarhumah akan dikebumikan di kompleks makam raja-raja Gowa di belakang mesjid Katangka Gowa, hari ini sekitar pukul 10.00 pagi. “Akan dimakamkan di dekat para keluarganya di Katangka, “ kata Faisal
ABD AZIS