Selama ini nilai ekspor produk itu sekitar US$ 300 juta setahun, atau hanya 2 persen dari keseluruhan ekspor tekstil dan produk tekstil. "Kalau ekspor ke Hong Kong jauh lebih kecil, di bawah 1 persen," kata Ade di Jakarta, Selasa 3 Mei 2011.
Hong Kong merupakan kawasan administratif khusus di Cina yang kegiatan perdagangannya tidak mendapat fasilitas perdagangan bebas ASEAN-Cina. Sebab, Hong Kong menjalankan sistem ekonomi dan politik yang berbeda dengan Cina daratan.
Kawasan itu juga ikut dalam beberapa keorganisasian internasional secara terpisah dengan Cina. Jadi kegiatan ekspor-impor Indonesia ke Hong Kong masih menggunakan skema normal atau most favored nation. Adapun bea masuk ekspor tekstil berkisar 5-10 persen.
Kalaupun ACFTA sudah bisa diterapkan di Hong Kong, Ade memperkirakan kenaikan ekspor ke wilayah itu maksimal hanya 1 persen. Selama ini produk ekspor tekstil ke sana adalah garmen kualitas menengah ke atas untuk pasokan ke department store.
Direktur Fasilitasi Ekspor Impor Kementerian Perdagangan Ahmad Syafri mengungkapkan, beberapa negara ASEAN dan Cina sudah meratifikasi perjanjian agar skema form ACFTA bisa digunakan di Hong Kong. Fasilitas ini penting bagi importir, terutama yang memiliki banyak relasi dagang di Hong Kong.
Tapi Indonesia belum meratifikasi perjanjian itu. Sementara itu, dari sisi impor, Ade belum khawatir akan adanya lonjakan yang mungkin terjadi. Nilai impor TPT dari Hong Kong sebenarnya cukup tinggi, atau sekitar US$ 1-2 juta per bulan.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Gusmardi Bustami menyatakan, pemerintah segera meratifikasi skema perdagangan itu. Persiapan administrasi sudah selesai. Ia menilai seharusnya ACFTA di Hong Kong berlaku tahun ini. Sejumlah negara peserta ACFTA sudah meratifikasi perjanjian itu dan melaksanakannya awal 2011.
EKA UTAMI APRILIA