TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati subsidi listrik untuk tahun depan maksimal hanya sebesar Rp 55 triliun. Angka ini turun sekitar Rp 3 triliun dari yang diusulkan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebelumnya.
"Komisi VII DPR RI meminta pagu indikatif subsidi listrik antara Rp 45 triliun-55 triliun," ujar Ketua Komisi Energi Teuku Rifky Harsya dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, semalam. Pagu indikatif tersebut ditetapkan dengan asumsi kurs Rp 9000-9.300 dan ICP US$ 75-95 per barel.
Besaran subsidi tersebut juga disertai dengan beberapa catatan dari Komisi Energi, antara lain meminta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk berupaya optimal dalam menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP) tenaga listrik melalui peningkatan efisiensi operasional dan perbaikan manajemen pengelolaan ketenagalistrikan. "Dengan optimalisasi bauran energi, penurunan susut jaringan dengan target hanya sampai 8,50 persen dan evaluasi program genset," kata Rifky.
Dalam rapat yang sempat ditunda selama 3,5 jam tersebut, Fraksi Golkar memberi catatan untuk batas atas asumsi subsidi listrik. Golkar meminta agar subsidi listrik maksimal hanya berada di angka Rp 53,7 triliun. “Terkait angka batas atas, kami beranggapan kami berpegang pada data saat ini yaitu 53 triliun,” ujar Bobby Adhityo Rezaldi.
Golkar meyakini masih ada peluang dalam penekanan biaya produksi listrik dengan bauran energi. “Seperti dengan mengupayakan gas yang telah dialokasikan untuk PLN dari Jambi Merang, Medco Lematang, dan Premier Oil Gajah Baru," katanya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh sepakat akan asumsi tersebut. "Karena kami ingin menurunkan subsidi listrik dalam kaitan dengan faktor-faktor inefisien," katanya.
Kementerian Energi berjanji agar mendorong PLN lebih sistematik dengan bauran energi dan lebih gencar untuk mendapatkan gas.
Sayangnya, rapat semalam tidak menghitung secara rinci berapa besaran BPP yang dicapai pada tahun depan. Hanya terdapat perhitungan dari Kementerian Energi sebelumnya yang memperkirakan BPP tahun depan berkisar di angka Rp 167-Rp 175 triliun dengan tarif listrik tetap sebesar Rp 729 per Kwh dan pendapatan penjualan listrik yang berada di angka Rp 126,69 triliun.
Perhitungan itu pun didapatkan dengan perkiraan PLN mendapat margin usaha sebesar 8 persen. Namun, usulan margin usaha tersebut ditolak oleh Komisi Energi. Komisi Energi dengan memutuskan margin yang dapat diperoleh PLN hanya sebesar 7 persen. “Komisi VII DPR RI meminta pemerintah melakukan kajian dampak besaran margin usaha PLN sebesar 7 persen terhadap investasi dan susut jaringan,” kata pimpinan sidang, Teuku Rifky Harsya.
GUSTIDHA BUDIARTIE