TEMPO Interaktif, Jakarta - Para wartawan dan Dewan Pers siang ini memperingati 17 tahun Pembredelan Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa 21 Juni 2011.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta agar materi penyadapan Badan Intelijen dalam Rencana Undang-Undang Intelijen yang saat ini sedang menjadi polemik tak menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, tapi juga terhadap kebebsan individu. "Apa pun bentuknya, hak menyadap bertentangan dengan hak asasi manusia dan Undang-Undang Dasar 1945," kata Bagir Manan.
Menurut Bagir, saat ini Indonesia tak mengenal lagi pembredelan. Bahkan Indonesia memiliki pers yang bebas dan demokratis. Kondisinya pun lebih baik dibanding masa Orde Baru. Kendati demikian, kata dia, pers masih rentan dikriminalkan. "Ini karena dalam hukumnya pers masih bisa dipidanakan," katanya.
Bagir juga menyadari adanya kebutuhan untuk menyusun undang-undang intelijen untuk kepentingan keamanan. Tapi, ia menegaskan, di negara mana pun pengaturan tentang penyadapan bukan mengatur hak sebuah lembaga untuk menyadap, tapi kewajiban.
"Bukan hak menyadap, tapi kewajiban-kewajiban hukum penyadapan, sehingga tidak melanggar hak-hak dasar individu," katanya.
Sebab, menurutnya, penyadapan hanya boleh dilakukan jika terdapat compelling ends, yaitu jika ada tujuan yang benar-benar memaksa harus dilakukan penyadapan. Kondisi ini pun masih harus didukung dengan terpenuhinya dua syarat melakukan penyadapan.
Selama empat bulan menjabat Ketua Dewan Pers, Bagir mengaku mendapat banyak pengaduan soal kriminalisasi pers.
Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Margiyono mengatakan, selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi 651 kasus yang menimpa wartawan. Di antaranya larangan liputan, pemukulan, pengancaman, teror kantor media, pembunuhan, dan sebagainya.
Dari ratusan kasus tersebut, hanya lima kasus yang dibawa ke pengadilan. Dan cuma satu tersangka yang akhirnya dihukum terkait kasus pembunuhan wartawan di Bali, Denpasar.
Pada 21 Juni 1994, Tempo, Detik, dan Editor dibredel pemerintahan Orde Baru. Pemicunya antara lain karena ketiga media itu memberitakan pembelian kapal perang dari Jerman.
KARTIKA CHANDRA | MUNAWWAROH