TEMPO Interaktif, Kudus - Jika ada penilaian pemerintah tak dapat mensejahterakan rakyat, hal itu berawal dari proses pemilu yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Konstitusi menekankan pemilu agar berjalan langsung, jurur, bebas, dan adil. “Hal ini belum sepenuhnya terlaksana,” kata Hamdan Zulva, Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam seminar bertajuk “Menuju Pemilihan Umum kepala Daerah yang bersih dan Demokratis” di Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah, Sabtu, 16 Juli 2011.
Menurut Hamdan, kualitas pemerintah menjadi cerminan kualitas proses pemilu. "Demokrasi yang kita anut adalah masalah proses,” kata Hamdan.
Pemilu, kata Hamdan, selalu diliputi berbagai persoalan. Banyak terjadi kecurangan, baik yang dilakukan partai politik, kandidat calon, serta penyelenggara pemilu. Kecurangan itu, menurut Hamdan, dilakukan secara sistematis. Penyelenggara bisa menjegal calon potensial dengan mencari-cari kesalahan bakal calon.
Ia juga memberi contoh kasus politik uang yang pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu calon kepala daerah bermain uang dengan kedok tim kampanye, tapi jumlahnya mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah pemilih. Sementara, pengawas pemilu sebagai kontrol atas jalannya pemilihan umum dinilainya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. “Pengawas tidak berjalan maksimal. Akhirnya pengaduan menumpuk di Mahkamah Konstitusi," kata Hamdan.
Menurut anggota Komisi Pemilihan Umum, Endang Sulastri, pemicu timbulnya masalah dalam pemilihan kepala daerah paling banyak disebabkan oleh politik uang. Juga akibat mobilisasi PNS, penghitungan suara, dan penetapan data pemilih yang dianggap tidak akurat. Semua itu penyebab sengketa hasil pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi. “Trennya sekarang, tidak puas kalau putusannya tidak di Mahkamah Konstitusi,” kata Endang Sulastri.
Menurut data KPU, selama 2010, dari 224 pemilukada yang telah diselenggarakan, terdapat 229 gugatan dari 164 daerah yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, sekitar 12 persen dari jumlah gugatan dikabulkan. “Hanya 26 pemohonan dari 25 daerah yang dikabulkan,” kata Endang.
Politik uang, lanjut Endang, dalam prakteknya tidak hanya dilakukan dalam bentuk uang, tapi juga barang. Bahkan, modus operandi yang dilakukan telah melewati batas yang tidak tercatat dalam transaksi ataupun yang ilegal, baik membeli suara melalui sumbangan atau suap media. “Modusnya beragam, mulai dari pembayaran balas jasa, pemberian proyek, dana, jabatan potensial, hingga hibah atau dukungan lainnya,” kata Endang.
Menurut Retno Saraswati, pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, solusi atas berbagai persoalan itu dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu perbaikan instrumen hukum pemilu, strategi kerja sama pemantau, dan pendidikan politik kepada masyarakat.
BANDELAN AMARUDIN