TEMPO Interaktif, Jakarta - Gara-gara mendengar rencana produsen telepon pintar BlackBerry, Research In Motion (RIM), membangun pabriknya di Malaysia, Pemerintah berencana mengkaji ulang sejumlah perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan negara lain.
"Kami akan tahu fasilitas dibangun di negara tetangga kita dengan memanfaatkan FTA. Indonesia sangat agresif dalam menandatangani komitmen globalisasi. Kalau tidak siap merespons, Indonesia akan kehilangan kesempatan," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di kantornya, Jumat, 9 September 2011.
Saat ini, perjanjian FTA yang telah diikuti Indonesia adalah dengan negara-negara ASEAN, FTA ASEAN dengan Cina, ASEAN dengan Korea, dan ASEAN dengan India. Sedangkan FTA bilateral adalah Indonesia dengan Jepang. Pemerintah juga akan membuka pasar bebas Selandia Baru dan Australia.
Menurut Agus, Indonesia akan sangat dirugikan jika tak segera mengambil langkah strategis. Berkaitan dengan produk BlackBerry, kata dia, potensi pasar di Indonesia sangat besar, tapi produksinya malah tak dilakukan di Indonesia.
Agus mengatakan pengenaan tarif barang mewah untuk ponsel BlackBerry atau barang telekomunikasi yang dibuat di luar negeri tapi banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia masih harus dikaji pemerintah. "Indonesia punya information technology agreement dengan global tentang masuknya pesawat telepon ke Indonesia tidak kena bea masuk," kata dia.
Indonesia menginginkan bukan hanya ekspor barang mentah dan bahan baku dengan mengalihkan pada produk hilir. "Harus ada upaya menaikkan industri hilir," kata Agus.
Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan mengungkapkan bahwa penjualan BlackBerry di Indonesia tahun depan diperkirakan mencapai 4 juta unit. Sedangkan di Malaysia hanya sekitar 400 ribu unit per tahun.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengatakan Pemerintah bisa saja mengenakan pajak barang mewah suatu produk. Kewenangan itu ada di Direktorat Jenderal Pajak. "Tapi dia tidak boleh diskriminatif. Artinya, kalau barang itu impornya dikenakan, dalam negerinya juga harus dikenakan," ujarnya.
Menurut Agung, agar produsen mau membangun pabriknya di Indonesia, iklim usaha harus diperbaiki. Indonesia harus lebih kompetitif dibanding kompetitor Indonesia, seperti Malaysia dan Singapura. "Penyediaan lahan, perizinan, itu kan selalu menjadi faktor yang selalu membuat kita kalah bersaing. Itu saja diperbaiki, barangkali akan menjadi lebih baik," kata dia.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa penerapan pajak penjualan barang mewah tak boleh diskriminatif. "Baik yang dijual di dalam negeri ataupun produk impor," kata Mari kemarin.
Menurut Mari, pengenaan pajak tambahan pada barang yang dianggap mewah, seperti telepon seluler dan laptop, merupakan salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk meningkatkan produksi di dalam negeri.
Untuk meningkatkan produksi dalam negeri, Pemerintah tidak hanya membahas soal disinsentif barang mewah, tapi juga tentang bagaimana meningkatkan penggunaan produk dalam negeri oleh Pemerintah. "Sebab, pasar bisa tumbuh dengan adanya pengadaan oleh Pemerintah," kata Mari.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Natsir Mansyur, mendukung rencana Pemerintah mengenakan disinsentif impor produk seluler dan laptop. "Bagus, agar bisa mendorong produksi dalam negeri," kata dia.
Tetapi, Natsir melanjutkan, kebijakan untuk mendorong produksi tidak hanya dengan disinsentif pajak, tapi juga dengan perbaikan iklim investasi agar investor mau masuk. Pemerintah juga harus menciptakan pasar domestik dan ekspor yang baik sehingga produsen barang konsumsi juga mau memproduksi barangnya di Indonesia.
ALWAN RIDHA RAMDANI | EKA UTAMI APRILIA