TEMPO Interaktif, Jakarta - Tingginya harapan terhadap upaya penyelesaian masalah krisis utang kawasan Eropa mampu mendorong para investor kembali memburu aset–aset dalam mata uang yang berimbal hasil tinggi seperti rupiah. Hal ini yang membuat membuat rupiah dan mata uang Asia lainnya menguat.
Para pelaku pasar kini mulai melepas dolar Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya dianggap sebagai safe haven dan mengalihkan investasinya ke bursa saham yang dianggap lebih menguntungkan. Mata uang euro yang yang kembali menguat di atas US$ 1,37 membuat dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang utama dunia lainnya. Imbasnya, mata uang regional, termasuk rupiah, ikut terapresiasi terhadap dolar AS.
Di transaksi pasar uang antarbank di Jakarta hari ini, Kamis, 13 Oktober 2011, nilai tukar rupiah ditutup menguat 45 poin (0,5 persen) ke level 8.870 per dolar AS. Untuk pertama kalinya rupiah berhasil ditutup di bawah level 8.900 per dolar AS sejak 21 September lalu.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya sempat menyentuh di atas level 79, kini sudah kembali di bawah 77 membuat rupiah cenderung menguat dalam beberapa hari terakhir.
Pengamat pasar uang dari Bank Saudara, Rully Nova, menjelaskan, intensifnya upaya penanggulangan masalah utang Eropa mencuatkan risk appetite (keberanian mengambil risiko) di pasar membuat harga–harga saham di bursa melonjak tajam. Naiknya harga saham seiring kembali masuknya investor asing ini membuat rupiah kembali menguat di bawah 8.900 per dolar AS.
Para pelaku mulai mengalihkan dananya ke dalam mata uang regional seiring menguatnya bursa saham. “Akibatnya mata uang Asia, termasuk rupiah, cenderung menguat dalam beberapa hari terakhir,” tuturnya.
Meredanya kehawatiran terhadap masalah krisis utang Eropa membuat para pelaku pasar melepas posisi beli dolar AS membuat mata uang Negeri Paman Sam cenderung melemah terhadap mata uang utama dunia. Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin sebenarnya belum banyak mempengaruhi pergerakan rupiah. Penguatan mata uang lokal dalam beberapa hari terakhir ini, masih menurut Rully, lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal.
VIVA B. KUSNANDAR