TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menyatakan belum ada perlindungan konsumen untuk e-commerce atau perdagangan online. Karena itu, pemerintah kini menjalin kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyusun kerangka perlindungan konsumen.
"Sama sekali tidak ada katup-katup perlindungan konsumen untuk e-commerce," ujar Mahendra, Senin, 17 Oktober 2011.
Tapi saat transaksi perdagangan online riskan, pertumbuhan perdagangan ini justru semakin melesat. "Hanya soal waktu, e-commerce kita akan lebih besar dari yang fisik," ujar Mahendra. Seperti juga yang terjadi di Amerika Serikat.
Kerja sama dua kementerian itu didasarkan pada pertimbangan Kementerian Komunikasi yang memiliki Undang-Undang Telekomunikasi dan Kementerian Perdagangan yang bisa mengkaji dari aspek perdagangan.
Mahendra melanjutkan, pertumbuhan perdagangan online ini bukan untuk menggantikan perdagangan fisik. Tapi dalam perkembangannya, volume perdagangan online terus meningkat. "Tantangannya adalah kalau tidak dibenahi dari segi perlindungan konsumen, bisa merupakan satu risiko," katanya.
Di sisi lain, perlindungan pelaku dan pengguna perdagangan online masih lemah. Dalam artian, para pelaku belum begitu paham mengenai mekanisme atau cara-cara pembelian di e-commerce itu sendiri. “Kalau misalnya produk datang tidak sesuai kualitas yang mereka inginkan.”
Para pelaku dan pengguna ini juga tidak tahu bagaimana cara menggugat dan mengadu atau mengeluh sehingga mendapat ganti rugi yang tepat. Apalagi secara umum, penduduk Indonesia juga belum melek teknologi.
Tapi Mahendra memastikan bahwa penyusunan regulasi melibatkan pelaku dan pengguna perdagangan online. "Kita tidak ingin membebani e-commerce kita dengan berbagai aturan yang justru membuat e-commerce tidak berkembang," katanya.
FEBRIANA FIRDAUS