TEMPO.CO, Jakarta - Penyelenggaran diskusi bedah buku karya Irsjad Mandji Allah, Liberty, dan Love bersama kuasa hukumnya, Hamzah Wahyudin, mendesakkan audit terhadap kinerja Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasalnya, kasus perusakan kantor penyelenggaraan diskusi, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) serta penganiayaan sejumlah orang di dalamnya pada 9 Mei 2012 lalu belum memperoleh titik terang.
"Ada dugaan Polda DIY membiarkan (kasus penyerangan itu). Itu bukti Polda DIY tidak mampu mengungkap kasus kekerasan ini," kata perwakilan JPY, Ika Ayu, saat melaporkan dugaan maladministrasi oleh Polda DIY kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah-DIY, Rabu, 5 September 2012.
Peristiwa penyerbuan kantor LKiS terjadi saat berlangsung diskusi buku tersebut, yang menghadirkan aktivis feminisme Irshad Mandji. Diskusi yang baru berjalan sekitar 30 menit berubah ricuh saat sekitar 100 orang dari organisasi massa memaksa masuk dan merusak dan menganiaya peserta. Ormas tersebut juga membagikan selebaran berisi pernyataan sikap yang mengatasnamakan Majelis Mujahidin Indonesia. Massa MMI itu datang mengenakan helm dan penutup wajah.
Berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan bongkahan batu dan pecahan kaca yang dihancurkan pelaku. Buku-buku yang diletakkan di depan pendapa tempat diskusi ikut dirusak dengan cara disobek. Ada tiga judul buku yang dirusak, yakni buku Allah, Liberty, and Love karya Irshad Manji, Al Hikam karya Muhammad Athoillah, serta Mahfudhot.
Hamzah menjelaskan, LBH sudah melengkapi bukti-bukti petunjuk berupa foto, rekaman video, serta selebaran yang mengatasnamakan MMI yang disebar malam itu. Bahkan sudah ada 10 orang yang diajukan sebagai saksi. Dua di antaranya adalah saksi dari panitia. Dari 10 saksi tersebut ada satu saksi yang melihat dan mengenal pelaku penyerangan.
"Kami sudah membantu untuk mempermudah penyidikan polisi. Tapi belum juga ada tersangka. Padahal ini kasus mudah," kata Hamzah.
Berdasarkan Peraturan Kepolisian RI nomor 12 Tahun 2009, kasus penyerangan tersebut merupakan murni tindak kriminal yang tergolong mudah pengungkapannya. Lantaran pelaku dan bukti-bukti sudah ada. Dalam aturan tersebut juga diatur bahwa untuk perkara kategori mudah diberikan batas waktu penanganan selama 30 hari, perkara sedang selama 60 hari, perkara sulit 90 hari, dan perkara sangat sulit 120 hari.
"Ini sudah 119 hari belum satu pun pelaku dijerat. Kinerja polisi harus diaudit," kata Hamzah.
Pelaksana Tugas Ketua ORI Perwakilan Jawa Tengah-DIY Budhi Masturi menjelaskan, jika polisi telah melakukan upaya namun belum menemukan perkembangan, ORI tak bisa menyebut itu sebagai pembiaran. Sebaliknya, jika polisi tidak melakukan apa pun sejak awal, itu tindak pembiaran.
"Kami akan fokuskan pada kualitas kinerja pelayanan Polda DIY," kata Budhi yang tengah mempertimbangkan untuk mengundang pihak Polda atau datang ke Polda untuk mengklarifikasi.
Kepala Kepolisian DIY Brigadir Jenderal Polisi Sabar Rahadja membantah jika polisi disebut tidak bekerja serius menangani kasus tersebut. Hanya saja, saksi dan bukti petunjuk yang diserahkan tidak bisa menunjukkan keterangan siapa pelaku secara personal, bukan atas nama kelembagaan.
"Polisi tidak boleh gegabah. Karena foto dan rekaman itu tidak bisa memperlihatkan pelaku yang sedang memukul, menyerang, atau bertindak kriminal," kata Sabar.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Berita Terpopuler
Mirwan Amir Akui Dana Miliaran di Rekeningnya
Miranda Goeltom Yakin Bebas
Soal Kicauan Denny, Polisi Hadirkan Ahli Bahasa
Tahun 2050, Indonesia ''Kebanjiran'' Manula
Diperiksa KPK, Jacobus Bungkam Soal Fee Bhatoegana
Pengacara Djoko Susilo Juga Bela Mabes Polri
Satu Tersangka Teroris Solo Ditangkap di Depok
Rosa Siap Hadapi Angelina Sondakh di Pengadilan
Cirus Resmi Huni Lapas Salemba