TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang-Undang Politik (Ansipol) Yuda Irlang menilai kaum perempuan masih kesulitan untuk menjadi calon anggota legislatif. Menurut dia, ini terjadi lantaran partai politik pilih-pilih dalam menentukan calon legislator.
"Kalau tak dekat dengan elite partai, tak akan dicalonkan," katanya di Jakarta, Ahad, 30 Maret 2014.
Tak hanya dekat dengan petinggi partai, kata dia, calon legislator perempuan juga harus punya modal. Menurut dia, meski seorang perempuan aktif dalam organisasi dan memiliki program yang akan dikerjakannya sebagai anggota legislatif, suatu partai belum tentu akan memasukannya dalam daftar calon legislator. Biasanya partai lebih memilih calon anggota legislatif yang tak punya pengalaman tapi sanggup membayar untuk mendapatkan "kursi".
Dia enggan merinci jumlah duit yang harus disetor bakal calon legislator. Namun, menurut dia, "Biaya yang ditetapkan partai tinggi."
Politik transaksional ini dibenarkan oleh Lena Mariana Mukti, calon wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan. Lena mengatakan pada pencalonan anggota legislatif untuk periode 2004-2009, partai masih melamar para aktivis sebagai caleg. Namun, mulai 2009, partai lebih memilih caleg perempuan yang berduit. "Sekarang sudah transaksional," katanya.
NUR ALFIYAH