TEMPO.CO, San Bernardino - Sudah 27 tahun menetap di Amerika Serikat, Helmi Wattimena tetap fasih berbahasa Indonesia. Begitu juga ketiga anak-anaknya yang lahir dan besar di Negeri Paman Sam. "Saya bilang dulu ke mereka, kalau tidak mau bicara bahasa Melayu nanti tidak boleh makan," kata Helmi, 62 tahun, saat Tempo mewawancarainya di satu warung kopi di San Bernardino, California Selatan, awal Juli lalu.
Cara Helmi mendidik anak-anaknya berbeda dengan cara mayoritas warga Indonesia yang tinggal di Amerika. Mereka lebih suka anak-anaknya fasih berbahasa Inggris.
Sebagai Ketua Front Kedaulatan Maluku4/Republik Maluku Selatan (FKM4RMS), kelompok yang diberi status separatis oleh pemerintah Indonesia, Helmo tetap menunjukkan rasa cintanya pada Tanah Airnya.
Pria usia 62 tahun ini kemudian menuturkan harapan, perjuangan, dan kekecewaannya dalam penyelesaian masalah Maluku-Indonesia dan juga pemilihan presiden 2014. "Kami menginginkan dialog dengan pemerintah Indonesia," ujar mantan aktivis mahasiswa dari Universitas Parahyangan Bandung ini.
Menurut Helmi, pendekatan FKM sebenarnya sudah berbeda dibandingkan pada awal gerakan RMS. Itu ditunjukkan pada 2001 ketika FKM ingin mengadakan seminar dengan mengundang ahli-ahli tata negara Indonesia untuk membahas apakah RMS itu gerakan separatis atau republik yang sah.
Dengan prakondisi, jika para ahli tatanegara menyatakan RMS adalah separatis, maka RMS akan bubar dan gabung dengan Indonesia. "Tetapi, jika para ahli tata negara ini sampai pada keputusan bahwa RMS adalah negara yang sah, maka Indonesia harus keluar dari Maluku," ujar Helmi.
Namun, sehari sebelum seminar, dua petinggi RMS, yakni Alex Manuputty, Semmy Waeleruny, dan Helmi ditangkap. "Kami semua lantas masuk dalam list wanted, ”ujar Helmi.