TEMPO.CO, Batang - Presiden Joko Widodo batal meninjau lokasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Kendati demikian, ratusan warga penolak PLTU berkapasitas 2 x 1.000 megawatt itu tetap berunjuk rasa di lokasi proyek wilayah pesisir Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, pada Rabu, 29 April 2015.
Sekretaris Daerah Kabupaten Batang, Nasikhin, mengatakan Presiden Jokowi dijadwalkan melihat kondisi terakhir proyek energi terbesar di Asia Tenggara itu pada Rabu siang. “Pak Jokowi batal ke Batang karena pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2015 di Jakarta tadi pagi memakan waktu lama,” kata Nasikhin.
Seusai acara Musrenbangnas, Jokowi beserta rombongan langsung bertolak ke Semarang. “Pak Jokowi menyampaikan paparannya ihwal proyek PLTU Batang di ruang VIP Bandara Ahmad Yani Semarang tadi siang,” kata Nasikhin.
Meski kabar batalnya kunjungan Jokowi ke lokasi proyek PLTU Batang sudah bocor sejak Selasa lalu, ratusan warga penolak PLTU Batang tetap berduyun-duyun ke pesisir Desa Karanggeneng pada Rabu pukul 10.00. “Kami mengantisipasi saja. Siapa tahu Pak Jokowi tetap meninjau kemari,” kata koordinator paguyuban warga penolak PLTU Batang, Roidi.
Karena Jokowi tidak kunjung hadir, unjuk rasa warga penolak PLTU Batang itu berakhir pada pukul 12.00. Gagal bertemu Jokowi, warga dari lima desa yang akan menjadi lokasi pembangunan PLTU Batang (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) berencana akan menggelar aksi serupa di Istana Negara.
“Agar Pak Jokowi bisa mendengarkan aspirasi kami secara langsung,” kata Roidi. Dari 226 hektare lahan yang dibutuhkan untuk membangun PLTU Batang, Roidi berujar, 20 hektare di antaranya belum bisa dibebaskan oleh investor PLTU Batang, PT BPI (konsorsium dari PT Adaro Power dan dua perusahaan Jepang, J Power dan Itochu).
Lahan seluas 20 hektare yang tersebar di Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, dan Ponowareng itu hingga kini masih dikuasai warga penolak PLTU Batang. Mereka bersikukuh tidak akan melepas lahan berupa sawah itu karena tidak ingin kehilangan mata pencarian sebagai petani. “Ada beberapa warga yang bersedia melepaskan lahannya. Tapi mereka meminta harga Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per meter persegi,” kata Roidi.
DINDA LEO LISTY