TEMPO.CO, Yangon - Para pemimpin Myanmar mengatakan pemilihan umum Minggu, 8 November 2015, akan menjadi pemilu paling inklusif di negara ini dalam beberapa dekade. Namun, untuk 1 juta muslim Rohingya yang tinggal di Rachine, di daerah perbatasan dengan Bangladesh, pemilu kali ini tidak mencerminkan kebebasan. Bahkan mereka menganggap pemilu kali ini tidak pernah ada.
Selama tiga tahun terakhir, ribuan warga Rohingya dikejar dan disiksa dalam bentrokan mematikan dengan umat Buddha dan pasukan keamanan. Puluhan ribu orang telah melarikan diri ke desa-desa dan kamp pengungsi. Mereka tidak dimasukkan ke daftar pemilih dan dilarang memilih.
"Kami diperlakukan seperti binatang," kata Thein Maung, 45 tahun, seorang pengungsi Rohingya yang diwawancarai di kamp Da Paing luar Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rachine, Jumat, 6 November 2015.
Situs Stripes.com menggambarkan kondisi mereka yang harus hidup berimpitan dengan 10 anggota keluarga atau lebih berada dalam satu gubuk darurat. Penghuni kamp mengatakan mereka kekurangan kayu bakar, air, dan makanan, serta terpaksa menyuap penjaga keamanan untuk meninggalkan kamp agar mendapatkan perawatan medis.
"Mereka mengatakan hanya menjaga kami di sini untuk sementara," kata Thein Maung. "Tapi bagaimana bisa sementara jika kami telah di sini selama tiga tahun dan kami tidak pernah dapat meninggalkan kamp?"
Stripes melaporkan, meskipun Myanmar telah menjadi negara yang jauh lebih terbuka sejak pemilihan umum terakhir 2010, kelompok hak asasi manusia mengatakan masih ada krisis kemanusiaan yang berkembang di daerah terhadap etnis minoritas, terutama di Negara Bagian Rachine.
Abu Seedik, penghuni kamp, mengatakan ia hidup damai di sebuah desa terdekat dengan istri dan 12 anak ketika kekerasan sektarian meledak pada 2012. "Mereka membakar rumah kami dan kemudian orang banyak serta pasukan keamanan mengepung desa kami," katanya sambil menambahkan bahwa putri bungsunya, 8 bulan, meninggal dalam api. "Tanpa makanan atau tempat tinggal, kami pindah ke kamp Da Paing, di mana keluarga sekarang tinggal di sebuah pondok jerami kecil."
Suku Rohingya diperkirakan datang ke Myanmar pada abad ke-19 dari India dan Bangladesh, tapi dokumentasi yang ada diakui kurang untuk membuktikan kebenarannya. Di Rachine, pejabat pemerintah dan banyak orang Myanmar menolak menggunakan kata "Rohingya". Mereka menyebut warga Rohingya sebagai para pengungsi Bengali atau imigran ilegal yang harus kembali ke negara asal mereka. Kamp-kamp, para pejabat mengatakan, dirancang untuk memberi para pengungsi tempat tinggal sementara sampai mereka pergi.
Dalam pemilihan umum Myanmar 2010, puluhan ribu warga Rohingya dikatakan bisa mendaftar dan memilih. Tapi, pada Februari 2015, pemerintah Thein Sein, mantan jenderal militer, mencabut dokumen identifikasi pemilih untuk sekitar 750 ribu di Myanmar, banyak di antaranya Rohingya. Kebijakan itu memaksa kaum Rohingya harus membuktikan bahwa mereka telah tinggal di Myanmar selama 60 tahun atau, jika tidak, harus menghadapi deportasi.
Aktivis Rohingya menyalahkan kebijakan sebagai praktek ekstrem Buddhisme oleh kelompok nasionalis. Salah satunya Asosiasi Patriotik Myanmar atau Ma Ba Tha. Tokoh kelompok tersebut adalah Ashin Wirathu, seorang biksu Buddha Myanmar yang telah mendukung dan mendorong rencana Thein Seine mengusir etnis Rohingya dari Myanmar.
STRIPES.COM | MECHOS DE LAROCHA