TEMPO.CO, Jakarta - Gegap gempita masuknya layanan televisi dan film internet Netflix ke Indonesia, awal Januari 2016 lalu, langsung meredup ketika perusahaan jasa telekomunikasi terbesar di tanah air, Telkom, memutuskan untuk memblokir Netflix dari saluran internetnya, hanya beberapa pekan kemudian.
Tindakan Telkom memicu pro dan kontra di kalangan netizen. Sebagian menganggap tindakan Telkom merupakan pelanggaran atas prinsip net neutrality atau netralitas saluran internet, dimana penyedia kanal internet seyogyanya tidak melakukan tindakan diskriminatif atas penyedia konten di dalam saluran tersebut.
Baca juga : Ini layanan Netflix di Indonesia dan daftar harganya
Namun pengamat komunikasi digital, Citra Diani, menilai tindakan Telkom memblokir layanan OTT (Over The Top) Netflix sudah tepat. Berikut ini wawancara Tempo dengan mahasiswa Phd di Columbia University, New York City, Amerika Serikat ini, Ahad 7 Februari 2016 lalu:
Menurut Anda, kenapa Telkom mengambil keputusan berani memblokir Netflix di Indonesia?
Alasannya mungkin perlu dipahami lebih dari sekedar isu sensor pornografi atau pajak. Penyedia jasa telekomunikasi di seluruh dunia memang sedang ketar-ketir melihat kebangkitan sebuah pasar dan layanan baru yang muncul akibat dari pesatnya perkembangan internet. Layanan tersebut adalah OTT atau over the top content.
Apa sih sebenarnya OTT itu?
OTT adalah layanan tambahan—disediakan oleh pihak lain—yang bisa dinikmati pengguna internet (seringkali gratis) dengan menggunakan jaringan data yang disediakan oleh operator telekomunikasi anda.
Layanan OTT bisa dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: jasa (Uber atau Gojek), konten (Netflix atau Hulu), atau aplikasi (What’s App atau Skype).
Singkatnya, OTT menyediakan jalur pintas antara penyedia konten dan pengguna. Alih-alih harus bernegosiasi harga tinggi dengan operator telekomunikasi atau penyiaran, para penyedia konten kini dapat langsung menjual layanan mereka melalui internet tanpa harus membayar biaya perantara yang tinggi. Berangkat dari penjelasan tersebut, dapat dipahami kenapa Telkom lantas pasang badan.
Simak penjelasan Menkominfo soal dampak Netflix bagi Indonesia
Jadi kehadiran layanan OTT ini mengancam perusahaan jasa telekomunikasi?
Terlepas dari masalah sensor moral (konten pornografis), pajak, dan kehadiran entitas bisnis lokal yang sering dinyatakan sebagai kerepotan OTT, isu pemblokiran ini bisa dibaca sebagai reaksi penyelenggara infrastruktur yang khawatir akan merugi.
OTT membawa potensi meredupnya industri telekomunikasi tradisional dan gejalanya pun nyata secara global. Contohnya, di Eropa dan Korea Selatan, beberapa operator telekomunikasi besar membukukan kerugian drastis akibat menurunnya penggunaan layanan telepon dan SMS—yang kini hampir sepenuhnya dilakukan pengguna lewat OTT.
Baca juga: Kominfo Mulai Kaji Layanan Netflix, Tiga Kajiannya....
Untuk menebus kerugian akibat penurunan penggunaan jasa tradisional tersebut, banyak operator telekomunikasi meminta agar pengusaha konten, termasuk OTT, diwajibkan membayar biaya penggunaan infrastruktur internet yang tinggi.
Biaya ini perlu dibedakan dari biaya langganan internet biasa yang dikenakan pada pelanggan kantor atau individu pada umumnya.
Bukankah itu melanggar prinsip Net Neutrality?
Di Amerika Serikat (AS), pemberlakuan biaya sewa infrastruktur bagi pengusaha konten dilarang berdasarkan prinsip netralitas internet atau net neutrality. Net-neutrality adalah sebuah prinsip yang mewajibkan penyedia jasa internet untuk memberikan kualitas layanan dan akses yang sama bagi semua jenis konten, pengguna dan sumber tanpa terkecuali. Aspek net-neutrality tersebut tidak bisa dipraktekkan di Indonesia.
Kenapa?
Di negara maju seperti AS dan Korea penurunan pendapatan operator telekomunikasi bisa disikapi dengan santai sebagai masa transisi teknologi yang akan segera dilewati. Soalnya negara-negara ini sudah selesai membangun backbone infrastruktur telekomunikasi/internet mereka.
Amerika Serikat sudah punya jaringan internet domestik yang rapi dan merata sejak tahun 1930an. Infrastruktur ini diwarisi dari sambungan telepon Amerika yang memang sudah kuat secara nasional.
Nah di Indonesia, tingkat penetrasi kabel telepon ke penduduk—yang seharusnya berfungsi sebagai tulang belakang utama teknologi internet berkabel—hanya di bawah 10 persen. Sisanya, pembangunan infrastruktur internet dilakukan dari nol oleh berbagai pihak swasta secara sporadis dan dengan memakan biaya yang sangat besar.
Simak: Pengamat: Netflix Mengacaukan Layanan TV Berlangganan
Jadi prinsip net neutrality justru menjadi disinsentif untuk perusahaan jasa telekomunikasi di Indonesia yang ingin berinvestasi memperkuat infrastruktur internet?
Dalam kasus Indonesia, pemberian gradasi harga yang dilarang oleh prinsip net neutrality, malah menjadi insentif krusial bagi operator agar terus mau membangun dan mengembangkan jasa infrastruktur internet.
Operator ingin menghindari scissor effect, dimana investasi berbanding terbalik dengan keuntungan. Bagi operator, memasuki bisnis data sama sekali tidak menjamin keuntungan, apalagi jika dibandingkan dengan layanan telepon dan/atau SMS.
Perhitungan profit untuk kedua layanan tersebut memiliki kenaikan linear yang jelas. Jika Anda mengirimkan satu SMS maka anda dikenakan biaya 350 rupiah. Dua SMS berarti 700 rupiah. Sama halnya dengan layanan telepon. Bertelepon selama satu jam berarti membayar 60 kali biaya bertelepon satu menit.
Mekanisme harga tersebut menjadi kacau dengan adanya layanan data bulanan yang mengizinkan pengguna untuk menelepon dan mengirim ribuan SMS melalui aplikasi OTT.
Baca juga: Asosiasi Sambut Baik Rencana Pemerintah Mengatur Netflix
Perlu diingat bahwa operator juga harus membagi kapasitas infrastruktur mereka agar bisa melayani berbagai kalangan masyarakat. Di satu pihak mereka dituntut untuk melaju cepat dalam mengikuti perkembangan internet. Namun di pihak lain mereka harus tetap melayani mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menggunakan layanan selular basic yaitu SMS dan telepon.
Dilemanya adalah potensi infrastruktur dan kapasitas investasi menjadi tidak maksimal di sisi manapun.
Jadi ada konteks berbeda untuk penerapan net neutrality di Indonesia dan di Amerika ya?
Para pejuang net-neutrality sering alpa melihat sisi ini; sisi bahwa prinsip netralitas internet sama sekali tidak netral atau inklusif. Prinsip ini sarat dengan agenda politik yang memprioritaskan penyediaan informasi melalui layanan data sebaik mungkin di atas penyediaan informasi menggunakan medium lain seperti telepon, SMS, atau televisi.
Pemberian jaminan akses internet bagi jenis konten tertentu yang hanya akan dikonsumsi oleh segelintir kalangan namun memakai banyak kapasitas infrastruktur, bisa berdampak pada pengurangan kapasitas atau akses infrastruktur untuk pengguna dan konten dan layanan jenis lain.
Baca: KPPU Akan Mengkaji Layanan Netflix
Memangnya seberapa besar dampak streaming film bagi infrastruktur internet?
Di Indonesia, mayoritas kebutuhan internet dibebankan pada seluler, yang tanpa kehadiran streaming Netflix pun, sudah sangat lamban dan dengan penerimaan sinyal yang sporadis. Sama halnya dengan internet berkabel yang walaupun lebih baik dan cepat, masih sangat jarang dan banyak gangguan.
Apa dampaknya secara teknis untuk operator internet seperti Telkom?
Berkaitan dengan OTT, artinya, para operator yang telah berinvestasi besar dalam membangun infrastruktur domestik, harus mau saluran mereka “dimampatkan” dengan beban streaming yang sangat besar tanpa adanya insentif langsung untuk kembali membangun jaringan infrastruktur.
Padahal investasi mereka mungkin belum sepenuhnya balik modal. Publik pun tidak mendapatkan insentif yang lebih nyata selain akses terhadap tontonan baru yang seru.
Perlu diingat pula, bahwa semua beban traffic konten, terlepas dari siapapun perusahaan providernya, akan tetap diemban oleh infrastruktur backbone nasional yang menyambungkan Indonesia dengan traffic data global lewat lautan barat dan timur Indonesia. Artinya, pada akhirnya, semua beban traffic ini tetap kita tanggung bersama.
Di Indonesia, OTT seperti Whatsapp dan Skype sudah lama ada, kenapa kehadiran Netflix memicu keributan?
Netflix mengancam keselamatan dua industri: telekomunikasi dan penyiaran. Netflix tidak termasuk dalam kategori manapun dalam entitas penyiaran yang diatur dalam undang-undang Indonesia. Akibatnya mereka “tidak perlu” tunduk pada etika industri penyiaran, seperti misalnya konten lokal, pajak, atau peraturan persaingan usaha.
Saya bukan menyatakan bahwa OTT konten sama sekali tidak bermanfaat. Konten OTT sudah terbukti mendorong perbaikan kualitas tayangan televisi di beberapa negara. Karena harus bersaing dengan ribuan tayangan Hollywood yang dibawa OTT, beberapa channel di Eropa dan Cina berlomba-lomba meningkatkan kualitas produksi program mereka.
Namun, insentif kultural saja belum cukup jika kita membicarakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Operator dan pemerintah harus bisa memikirkan mekanisme pasar yang bukan hanya menjamin keterbukaan konten di media online, tapi juga memastikan pembangunan infrastruktur terus dilakukan dengan cepat.
Jadi apa solusinya agar pembangunan infrastruktur tetap berjalan, tapi pengguna internet juga dapat menggunakan OTT?
Di banyak negara yang pembangunan infrastrukturnya masih belum merata seperti Indonesia, jawabannya adalah bundling. Bundling adalah praktek bisnis telekomunikasi dimana operator memberikan gabungan beberapa layanan telekomunikasi sekaligus kepada pengguna dengan harga yang lebih murah jika pelanggan hanya berlangganan satu layanan atau dua layanan secara independen.
Beberapa jenis praktek bundling dianggap efektif bagi operator untuk memastikan pengembalian profit yang linear dengan investasi yang telah mereka tanamkan.
Ini bisa menjelaskan mengapa Telkom bersikap garang kepada Netflix namun bersiap-siap untuk memboyong Hooq ke Indonesia. Dengan membundling konten dalam layanan infrastruktur, operator bisa mengurangi potensi kerugian.
Simak: Netflix di Indonesia, Saham TV Berlangganan Tak Terpengaruh
Apa sisi negatifnya?
Praktek ini jelas bermasalah dari segi persaingan usaha karena membatasi akses infrastruktur hanya kepada beberapa perusahaan konten. Jaminan adanya persaingan usaha yang adil ini penting untuk perusahaan di Eropa dan Amerika.
Di Jerman dan Spanyol, untuk menjamin persaingan konten yang sehat, pemerintah federal bahkan mewajibkan Google untuk membayar perusahaan media massa untuk setiap berita yang diterbitkan di Google News.
Yang menjadi masalah lain di Indonesia dalam praktek bundling telekomunikasi, sebagian saham operator telekom Indonesia dimiliki oleh perusahaan asing. Saham Telkomsel sebagian dimiliki oleh Singtel (Singapura), dan sebagian saham Indosat dimiliki oleh Qtel (Qatar). Dampaknya adalah, dengan mengijinkan bundling, maka pemerintah dianggap melemahkan kedaulatan kultural Indonesia sendiri.
Apa saran Anda untuk pemerintah?
Saat ini pemerintah Indonesia perlu menetapkan prioritas telekomunikasi: konten atau infrastruktur? Pembangunan akses kepada pengguna atau jaminan akses kepada penyedia konten? Walaupun terdengar senada, kedua aspek ini seringkali bertentangan.
Pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kecolongan dengan masuknya Netflix. Industri akan selalu berada jauh di depan regulasi yang mengaturnya. Kenyataannya sebagian besar negara memang tidak siap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat ini.
Simak: Kisruh Netflix, Apa Langkah Pemerintah?
Di Kanada, pertarungan regulasi untuk industri OTT konten masih berlangsung hingga hari ini. Pemerintah Kanada bahkan harus menciptakan kategori baru untuk industri ini berjudul ‘exempt broadcaster’ (penyelenggara penyiaran yang dikecualikan). Amerika Serikat menggunakan istilah ‘specialized services’ (layanan khusus).
Benang merah yang menyatukan istilah-istilah ambigu tersebut adalah fakta bahwa kebanyakan pemerintah dan masyarakat tidak sepenuhnya memahami entitas bisnis dan teknologi baru yang mereka hadapi ini. Sulit untuk menciptakan regulasi yang komprehensif jika objek hukum yang harus diatur tidak memiliki status dan keberadaan yang jelas.
WAHYU DHYATMIKA