TEMPO.CO, Logan - Dalam sebulan terakhir geger kasus pembunuhan menggunakan racun sianida. Memang, hanya beberapa miligram saja sianida bisa membunuh seseorang hanya dalam waktu 10 detik.
Tapi, apakah sianida racun paling mematikan? Jawabannya tentu saja tidak. Racun katak Aparasphenodon brunoi dari Brasil-lah yang sangat mematikan. Racun yang keluar dari duri di kepalanya tersebut bahkan lebih mematikan daripada bisa ular pit viper Brasil. Sekali semprot racun itu cukup untuk membunuh 80 orang.
Racun mematikan katak Brasil terungkap ketika tangan Carlos Jared, peneliti dari Butantan Institute, Sao Paulo, Brasil, terluka saat memegang katak Corythomantis greeningi, satu dari dua spesies yang tengah diteliti.
Katak yang hidup di savana Brasil bagian timur itu memiliki tonjolan tulang mirip duri di beberapa bagian tubuhnya yang menggores tangan Jared. "Rasa sakit luar biasa dan panas di tangan bertahan hingga lima jam," kata Edmund Brodie Jr, ahli herpetologi dari Utah State University di Logan.
Jared beruntung karena katak yang melukainya bukanlah spesies katak beracun lain yang tengah mereka teliti. Dua spesies ini sudah dikenali selama beberapa dekade, tapi fungsi biologisnya belum banyak terungkap.
"Kami belum pernah merasakan efek racun dari spesies yang paling mematikan. Kuharap kami tak perlu mengalaminya," kata Brodie seperti ditulis Live Science. Hasil temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal Current Biology.
Kalkulasi para peneliti menunjukkan satu gram racun dari spesies A. brunoi bisa membunuh lebih dari 300 ribu tikus atau 80 manusia. Sementara satu gram racun katak C. greeningi sudah bisa menghabisi lebih dari 24 ribu tikus atau enam manusia. Sebagai perbandingan, tingkat kekuatan racun ular pit viper Brasil yang terkenal berbahaya itu cuma separuh dari katak C. Greeningi, atau 25 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan racun milik A. brunoi.
Para katak itu memiliki semacam duri tulang di hidung, rahang, dan bagian belakang kepala. Untuk ukuran katak, mereka memiliki leher yang sangat lentur. Ketika ditangkap atau dicengkeram, amfibi itu langsung melepaskan racun dari kelenjar kulit di sekitar durinya. Kemudian mereka akan menjulurkan kepala, menanduk, dan menggosokkan duri-duri mereka ke penangkapnya.
Racun spesies C. greeningi lebih lemah daripada katak A. brunoi, tapi mereka memiliki kepala berduri dan kelenjar yang lebih besar sehingga bisa mengeluarkan racun lebih banyak. Brodie mengatakan tingkat kekuatan toksin dari sekresi kelenjar kulit katak sangatlah luar biasa. "Mekanisme pengeluaran racun seperti yang mereka lakukan belum dikenali sebelumnya," kata dia.
Para amfibi itu diketahui tak punya predator alami. Kemungkinan hal itu disebabkan oleh racun yang mereka miliki. Para peneliti menduga katak itu kebal terhadap racunnya sendiri. Katak-katak itu diperkirakan menggunakan racunnya hanya untuk mengusir musuh dan bukan untuk membantunya berburu mangsa.
Sebagian besar anggota keluarga amfibi, seperti katak, kadal, dan salamander, memang bisa mengeluarkan racun dari kelenjar kulit untuk mengusir predator. Beberapa dari mereka, seperti katak panah beracun, memiliki racun yang cukup kuat untuk membunuh 10 orang. Warga suku-suku di Kolombia dulu melaburi panah sumpit mereka dengan racun katak itu.
LIVE SCIENCE | CURRENT BIOLOGY | AMRI MAHBUB