TEMPO.CO, Yogyakarta - Komunitas pengusaha di Daerah Istimewa Yogyakarta khawatir masih banyak ekspor bahan baku kerajinan dari Indonesia di era pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) DIY, Heru Prasetyo mendesak pemerintah segera membatasi ekspor bahan baku kerajinan. "Kalau tak segera dibatasi, kami bisa habis (kalah bersaing)," kata Heru Jumat, 12 Februari 2016.
Baca Juga:
Heru mengaku menemukan produk kerajinan dari Cina yang memakai bahan kayu ulin asal Indonesia. "Paling mencolok, ekspor kulit kerang. Penjualan ke India sangat tinggi, padahal mereka pesaing kami," kata Heru.
Menurut Heru, ekspor bahan baku kerajinan mengancam penurunan daya saing ribuan pengrajin lokal. Selama ini, produk kerajinan Indonesia mampu bersaing karena bahan alam yang melimpah dan tak ada di negara lain. "Kalau ekspor bahan kerajinan dibiarkan di era pasar bebas sekarang, banyak pengrajin tak akan bertahan pada dua sampai lima tahun ke depan," kata dia.
Heru khawatir karena selama ini produk kerajinan negara pesaing berat Indonesia, seperti Cina, Vietnam dan India dibandrol dengan harga lebih murah. Sebagian justru punya kualitas desain dan pengolahan bahan lebih baik ketimbang produk yang sama asal Indonesia.
Dia berpendapat, MEA bisa menjadi ancaman serius bagi pengrajin asal Indonesia jika ekspor bahan baku kerajinan tak dibatasi ketat. Produk yang sebenarnya khas Indonesia akan dengan mudah diproduksi negara lain. "Selama ada MEA, kami belum bisa merebut pasar di negara ASEAN, saat ini pasar Indonesia yang jadi sasaran (kerajinan impor)," kata Heru.
Menurut Heru, di tengah situasi perekonomian yang melambat, kapasitas ekspor produk kerajinan lokal justru menanjak. Jumlah ekspor produk kerajinan asal DIY, menurut Heru, dengan tujuan pasar tradisional, seperti Amerika, Eropa dan Autralia, terus bertambah. "Produk seperti meja makan, kursi kayu, keranjang rotan, mangkok kayu laku keras di Amerika,” kata dia.
Tapi, mayoritas pengrajin asal Yogyakarta belum punya konsep produksi yang inovatif dalam hal desain dan pengolahan bahan dengan kualitas presisi. Akibatnya, ekspor hanya mampu menyasar pasar tradisional. “Kerajinan asal DIY harganya juga masih murah karena belum banyak yang bisa naik level menjadi produk gaya hidup,” kata Heru.
Tak heran nilai ekspor kerajinan asal Vietnam bisa melampaui Indonesia pada tahun lalu. “Karena nilai barangnya lebih mahal dan bukan karena volumenya lebih banyak,” ujar dia.
Eksportir kerajinan asal Sleman, Hiero Prabantoro, membenarkan anggapan Heru. Baru-baru ini dia menemukan produk keranjang berbahan anyaman bambu asal Vietnam justru menarik minat pembeli kelas menengah di waralaba IKEA, Jakarta. “Produknya sama dengan buatan Sleman atau Bantul yang harganya belasan ribu, tapi irisan bambunya lebih tipis dan rapi serta desainnya bagus,” kata Hiero.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM