TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan apabila ada keterangan masalah orang asing yang bekerja di Indonesia, ada dua aspek yang perlu ditelusuri. "Yaitu aspek perizinan dan aspek pelaksanaan izin di lapangan," katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo, Jumat, 29 April 2016.
Perizinan mencakup izin tinggal yg dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Imigrasi di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, dan izin kerja atas nama perusahaan pengguna Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA Kementerian Ketenagakerjaan. Izin kerja atas nama perusahaan itu disebut Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) , sedangkan izin tinggal disebut izin tinggal terbatas (ITAS) atau izin tinggal tetap (ITAP).
Jika ditemukan masalah pekerja asing di lapangan, maka harus dicek apakah orang itu punya izin tinggal dan izin kerja, dan apakah di lapangan ditemukan pelanggaran terhadap penggunaan kedua izin tersebut. Jika pekerja asing mengantongi KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas), maka waktu tinggalnya maksimal 12 bulan dan dapat diperpanjang hingga lima tahun. Jika mengantongi KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap), berarti izin tinggalnya minimal 5 tahun.
Jika pekerja asing di Indonesia mengantongi KITAS atau KITAP tetapi tidak bekerja, maka yang bersangkutan tidak wajib punya izin kerja (IMTA). "Jika punya KITAS atau KITAP saja tetapi nggak punya IMTA dan sementara ia nyata-nyata bekerja, maka itu jelas pelanggaran," kata Hanif. Sanksinya bisa berupa pidana kurungan penjara dan/atau denda ada pula yang ditambah dengan sanksi pendeportasian pekerja asing ilegal.
Apabila pekerja asing mengantongi IMTA atas nama perusahaan tertentu, masih ada pula yang perlu dicek kembali. Apakah perusahaan yang menggunakannya sama dengan perusahaan, pekerjaan dan jabatan pekerjaannya sesuai dengan yang tertera dalam IMTA. "Jika tidak sesuai, namanya pelanggaran karena penyalahgunaan izin kerja (IMTA)," kata Hanif. Sanksinya adalah sanksi administratif berupa pencabutan IMTA dan/atau denda serta bisa diiringi dengan sanksi deportasi.
Hanif mencontohkan, seorang pekerja asing memegang IMTA atas nama perusahaan A, tapi di lapangan dia ternyata dipekerjakan oleh perusahaan B. Orang itu melakukan pelanggaran karena perusahaan pengguna Tenaga Kerja Asing tidak sesuai dengan perusahaan yang mengajukan permohonan IMTA. "Ini namanya penyalahgunaan IMTA," katanya.
Contoh lainnya seorang pekerja asing di dalam IMTA tertera jabatannya sebagai manajer tetapi di lapangan dia bekerja sebagai technical engineer. Hal ini pun dapat dikatakan pelanggaran karena menyalahi jabatan yang tertera dalam IMTA. Dalam aturan ketenagakerjaan, hanya jabatan-jabatan tertentu saja dan bersifat keahlian yg boleh diduduki oleh pekerja asing.
Menurutnya, pekerja asing disebut melanggar apabila pertama tidak memiliki izin kerja (IMTA). Contohnya seperti masuk pakai visa turis tapi di lapangan bekerja. Mereka biasa disebut sebagai pekerja ilegal. Keduaa, punya izin kerja (IMTA) namun perusahaan pengguna atau pekerjaannya di lapangan tidak sesuai dengan yang tertera dalam IMTA. Mereka disebut penyalahgunaan izin kerja.
Terhadap pelanggaran itu, kata Hanif, pengawas Ketenagakerjaan berwenang menindak perusahaan dan mengeluarkan si pekerja asing dr tempat kerja dengan cara apa saja. Selanjutnya, Pengawas Keimigrasian berwenang untuk memproses pidananya dan memulangkan yg bersangkutan ke kampung asalnya atau deportasi.
Sebelumya,TNI Angkatan Udara menangkap 7 orang yang tengah mengerjakan proyek pengeboran di kawasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Lima di antaranya adalah warga negara asing diduga asal China. Mereka ditangkap saat melakukan pengeboran di wilayah Lanud Halim karena melaksanakan pekerjaan tanpa izin.
MITRA TARIGAN